Anggota
DPRD adalah pejabat negara di daerah, mewakili rakyat daerahnya yang
mendapat dukungan rakyat lewat konstituennya. Kedudukan anggota Dewan
cukup terhormat di tengah rakyat yang diwakilinya. Seyogyanya anggota
Dewan yang telah dilantik menyimpan SK yang telah diterimanya sebagai
simbol dukungan rakyat yang telah memilihnya dan menjadi bukti keabsahan
untuk memperjuangkan aspirasi rakyat dalam pemerintahan di daerah. Sesuai amanat Konstitusi, negara melindungi segenap warga negara, negara melalui pejabatnya mensejahterakan seluruh rakyat dan mencerdaskan bangsa.
Tugas
pokok para pejabat negara termasuk anggota DPRD mestinya menjadi
perhatian utama karena itu fokus terhadap pelaksanaan amanat konstitusi
yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 itu. Mengingat tugas berat yang
diamanahkan oleh Konstitusi itu paling tidak langkah pertama yang
seharusnya dilakukan oleh wakil-wakil rakyat itu menyusun agenda yang
akan dilaksanakan ke depan untuk masa bakti lima tahun. Seorang
negarawan akan menempatkan dirinya sebagai wakil rakyat secara
keseluruhan setelah resmi dilantik sebagai anggota DPRD setempat,
meskipun dalam pelaksanaan pemilihan umum legislatif, dia dicalonkan
oleh partai politik tertentu dan dipilih oleh konstituennya yang
terbatas. Sikap negarawan yang seharusnya dimiliki oleh setiap anggota
legislatif baik di pusat maupun di tingkat Provinsi, Kabupaten dan Kota.
Sebagai wakil rakyat mereka berbicara dan
bertindak atas nama dan untuk rakyat yang diwakilinya, bukan lagi
sebatas wakil Parpol yang mengusungnya dan konstituen yang memilihnya.
Seorang diplomat ulung yang pernah dimiliki oleh bangsa ini. Mr.Moh
Roem, dikenal dengan perundingan Roem-Royen antara pemerintah
Indonesia-Belanda, ketika terpilih menjadi pejabat tinggi negara
didatangi oleh konstituen dari partainya Masyumi untuk berbagi
fasilitas, Moh.Roem menyatakan dengan tegas tapi santun bahwa ketika ia
resmi diangkat oleh negara maka amanat diatas pundaknya bukan lagi
sebatas untuk partai dan anggotanya semata tetapi amanat itu sudah
melliputi bagi seluruh rakyat Indonesia. Untunglah waktu itu konstituen
dan partainya memahami betul hakikat seorang peminan
publik yang dipercaya oleh rakyatnya sehingga selamatlah ia dalam
menjalankan amanat rakyatnya dan dikenang sampai kini sebagai seorang
negarawan yang teguh pada pendirian dan senantiasa membela kebenaran
meskipun terhadap lawan politiknya.
Fenomena
yang akhir-akhir ini muncul kepermukaan cukup memprihatinkan adalah
wakil rakyat di daerah ramai-ramai gadaikan SK DPRD segera setelah
dilantik dan memperoleh Surat Keputusan sebagai anggota DPRD untuk
mendapatkan pinjaman uang dari Bank. Uang pinjaman itu diperlukan untuk
mengembalikan pinjaman dan menutup biaya masa kampanye pada pelaksanaan
Pileg beberapa waktu yang lalu. Transaksi dengan Bank melalui jaminan SK
DPRD dan pengembalian pinjaman lewat pemotongan
honor sebagai anggota DPRD disepakati untuk waktu tertentu. Bisa
dibayangkan seorang wakil rakyat yang akan menjalankan amanat rakyat
dengan sepenuh perhatian, paling tidak pendapatannya berkurang tiap
bulan karena dipotong untuk pengembalian pinjaman Bank, sehingga dapat
memecah konsentrasi pekerjaan pokoknya sebagai wakil rakyat yang
bertanggungjawab untuk mencukupkan kekurangan pendapatan perbulannya.
Mereka yang menggadaikan SK DPRD, dimungkinkan biaya pencalonannya tidak
dipenuhi oleh Partainya, sehingga ia jalan sendiri dengan biaya sendiri
atau meminjam kepada teman atau bisa juga dibiayai oleh sponsor yang
memang menyediakan dana untuk itu. Itulah barangkali yang sering disebut
oleh media dengan istilah politik transaksional. Biasanya penyandang
dana akan memilih calon yang potensial bisa terpilih, sehingga transaksi itu
bisa berlanjut setelah calon legislatif terpilih menjadi anggota dewan.
Beruntung bagi mereka yang terpilih, bagaimana pula nasib para Caleg
yang gagal yang juga sudah banyak menggunakan uang pinjaman, sehingga
harus menjual rumah, kendaraan dan barang berharga lainnya untuk
mengembalikan hutangnya. Pernah ditulis di Media seorang caleg dari
daerah yang gagal dan
menggelandang ke Jakarta dan ditemukan wartawan sedang duduk lesu di
tangga masjid, ternyata ia sedang menjajakan ginjalnya ke beberapa Rumah
Sakit untuk membayar hutang-hutangnya selama kampanye Pileg yang ia
ikuti di daerahnya. Kita yang mengikuti laporan wartawan itu ikut trenyuh. Malahan beberapa tahun yang lalu kita sempat menyaksikan disiaran TV seorang calon Kepala Daerah yang gagal, kehilangan segala-galanya yaitu rumah, kendaraan, usaha yang ditekuninya, juga istrinya
dan yang amat tragis yang bersangkutan kehilangan kesadaran diri. Hal
itu ditayangkan oleh stasiun TV yang bersangkutan berjalan di jalan raya
dengan pakaian minim.
Ternyata praktek Gadai SK DPRD sudah lama terjadi, pihak Bank menyatakan
yang penting dengan jaminan SK itu dan kesepakatan pemotongan honor
DPRD tiap bulan itu merupakan jaminan pinjaman akan kembali, kecuali
jika anggota dewan itu diberhentikan karena kasus korupsi. Seorang
anggota Dewan menjawab pertanyaan wartawan bahwa praktek ini telah
menjadi hukum adat. Malah ketua DPRD Kota Cimahi dan 35 anggota Dewan
yang menggadaikan SK tidak mempermasalahkan praktek itu, tidak ada
aturan yang dilanggar. Sekretaris Dewan Kota Cimahi menjelaskan, dia
memfasilitasi anggota Dewan yang akan meminjam uang dengan pihak Bank.
Dalam sistem hukum kita telah berlaku norma yang dipatuhi di kalangan masyarakat, malah jauh sebelum masuknya sistem Civil Law
atau sistem Continental yang dibawa oleh Pemerintah Hindia Belanda,
norma itu sudah mendarah daging dalam masyarakat. Sampai sekarang masih
berlaku hierarkhi norma itu, dimulai dari norma Sopan santun, norma
Kesusilaan, norma Agama dan norma Hukum. Bagi bangsa berbudaya tinggi
dan berkeadaban tidaklah cukup Cuma mengandalkan aturan hukum
semata-mata dan mengabaikan norma-norma yang lainnya, karena dibalik itu
ada Kepatutan, apabila dilanggar
masyarakat menilai negatif terhadap si pelanggar Kepatutan itu. Betapa
perasaan keadilan masyarakat terusik ketika putusan pengadilan hanya
mengandalkan aturan perundang-undangan semata dan mengabaikan norma dan
rasa keadilan yang telah mereka miliki secara turun temurun. Banyak
contoh yang telah dipaparkan oleh Media seperti kasus mengambil sandal
jepit, mengambil buah kakao yang sudah jatuh,kasus Prita dan banyak
lagi. Kehalusan rasa yang diasah oleh norma telah dianut dan dipelihara sejak lama oleh masyarakat kecil hendaknya juga dapat dirasakan dan dimilki oleh para pejabat negara baik di Eksekutif, Yudikatif dan Legislatif apalagi anggota Dewan yang dipilih langsung oleh rakyat.
Memang,
pantas tidaknya menggadaikan SK DPRD itu, tentu tergantung pada
sensitifitas masing-masing pribadi kita. Bagi mereka yang telah dipilih
oleh rakyat dengan pengharapan menjadi pembawa aspirasi mereka yang
umumnya masih melekat norma-norma lama yang mereka warisi dari generasi
awal bangsa ini. Tak semua warisan lama itu buruk, namun diyakini masih
ada mutiara yang dapat diunggulkan untuk mengangkat bangsa ini menjadi
bangsa terhormat.
Ditulis: M.Rais Ahmad