Hi, I'm Azies welcome to my space. This is a documentation of stories and experiences of my life.

Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan

03 Oktober, 2014

Cerita Haru: Pengorbanan Suami KU...

Jumat, Oktober 03, 2014
Empat tahun sudah keduanya menikah. Namun pasangan suami istri itu belum juga dikaruniai buah hati. Mulanya mereka tidak merasa ada masalah. Namun saat terdengar bisik-bisik tetangga, sang istri mulai resah. Kok belum punya anak ya mereka. Yang punya masalah suami atau istri? kalimat-kalimat itu sampai juga di telinga mereka.

Akhirnya suami istri itu pergi ke dokter. Mohon bersabar pak, kata dokter kepada pria itu sambil menyerahkan hasil lab. Istri anda mandul dan agaknya tidak ada harapan untuk bisa hamil.
Kalau begitu, jangan sampaikan ini kepadanya Dok
Maksud Anda? "Dokter pun kaget sambil bertanya"
Saya khawatir itu akan melukai perasaannya. Dokter katakan saja kalau saya yang mandul.
Dokter pun menjawab : "Tidak bisa begitu. Anda kan tidak ada masalah"
Cukup lama mereka berbincang, hingga pria tersebut berhasil meyakinkan dokter untuk mengatakan sesuai keinginannya.

Entah bagaimana ceritanya, tetangga-tetangga yang dulu bertanya siapa diantara suami istri itu yang bermasalah akhirnya mendengar bahwa pria itu mandul. Kabar itu juga sampai kepada kerabat mereka. Kasak kusuk pun semakin kencang. Meski demikian, rumah tangga keduanya masih bertahan. Hingga suatu hari, lima tahun setelah hasil lab itu, wanita itu tak dapat lagi bersabar.

Sembilan tahun sudah kita berkeluarga, dan selama itu aku dapat bersabar. Sampai-sampai para tetangga kasihan melihatku dan mengatakan kasihan yang wanita shalihah itu. Ia telah bersabar hidup bertahun-tahun dengan suaminya yang mandul. Terus terang, aku ingin menggendong anak, mengasuh dan membesarkannya. Kini aku tak dapat lagi memperpanjang kesabaranku. Tolong ceraikan aku agar aku bisa menikah dengan laki-laki lain dan mendapat anak darinya, kata wanita itu kepada suaminya.

Sang suami dengan sabar mendengar tuntutan itu sambil menasehatinya. Ini ujian dari Tuhan sayang, Kita perlu bersabar

Mendengar nasehat tersebut, emosi istri sedikit mereda. Baiklah, aku akan bersabar. Tapi hanya satu tahun. Jika berlalu masa itu dan kau tidak juga memberiku keturunan, ceraikan saja aku.
Selang beberapa hari, tiba-tiba wanita itu jatuh sakit. Hasil lab menunjukkan, ia mengalami gagal ginjal. Ini semua gara-gara kamu, kata wanita itu kepada suaminya yang saat itu menungguinya di rumah sakit, Aku terus menahan sabar karenamu. Inilah akibatnya. Sudah tidak punya anak, kini aku kehilangan ginjalku.

Apa? Kau akan pergi ke luar negeri? kata wanita itu dengan nada tinggi, esok harinya ketika sang suami berpamitan kepadanya. Entah bagaimana perasaannya, ia yang kini bad rest di rumah sakit harus berjuang sendiri tanpa suami.

Ini tugas dinas, Sayang. Dan sekaligus aku akan mencari pendonor ginjal buatmu.  Beberapa hari kemudian, wanita itu mendapatkan kabar gembira bahwa telah ada seseorang yang mau mendonorkan ginjalnya. Tetapi dokter merahasiakan namanya.

Orang itu sungguh baik, Dokter. Ia mendonorkan ginjalnya untukku tanpa mau diketahui namanya. Sementara suamiku sendiri, ia justru pergi ke luar negeri, meninggalkanku sendiri, mata dokter yang mendengar komentar itu berkaca-kaca. Ia tahu persis siapa yang mendonorkan ginjal untuk wanita itu.

Dengan izin Tuhan, operasi berhasil dengan baik. Wanita itu sembuh. Dan yang lebih menakjubkan, tak lama kemudian ia hamil, lalu melahirkan seorang bayi yang lucu. Ucapan selamat datang dari kerabat dan tetangga. Kini bisik-bisik itu telah selesai. Dan kehidupan rumah tangga keduanya pun normal kembali.

Suatu hari saat sang suami dinas luar, tak sengaja wanita itu menemukan buku harian suaminya di atas meja. Mungkin karena terburu-buru, sang suami itu lupa menyimpannya seperti biasa.

Betapa terkejutnya wanita itu membaca halaman demi halaman episode rumah tangga yang selama ini tak diketahuinya. Bahwa ternyata yang mandul adalah dirinya. Bahwa pendonor ginjal itu adalah suaminya sendiri. Ia pun menangis sejadi-jadinya. Hampir pingsan ia menyadari kekeliruannya selama ini. Ia yang tak tahan dan ingin minta cerai, padahal suaminya lah manusia paling sabar yang ia temui. Ia kesal dengan suaminya yang pergi saat ia operasi, padahal suaminya terbaring lemah saat itu demi menghibahkan satu ginjal untuknya.

Ketika sang suami pulang, wanita itu tak mampu memandang wajahnya. Ia tertunduk malu. Hampir seratus hari lamanya, ia terus begitu. Malu di depan pria yang paling dicintainya dan paling berjasa dalam hidupnya.

Sumber : Pulsk

16 September, 2013

Cerpen: Sebuah Bukit

Senin, September 16, 2013
Suatu ketika hiduplah setangkai kembang sepatu. Ia tinggal di atas sebuah bukit nan permai. Bukit itu sungguh indah, sebab dari kaki bukit hingga puncaknya diselimuti aneka ragam bunga-bungaan. Ada bunga lili, mawar, dahlia, anggrek hutan, bakung, dan ratusan bahkan ribuan jenis bunga lainnya. Sedang tempat tinggal si kembang sepatu itu jauh di atas bukit, akan sulit melihatnya dengan sekali pandang sebab ia terhalangi oleh rumpun semak belukar yang menjadi tetangganya.

Bukit itu senantiasa ramai dikunjungi oleh kawanan binatang, terutama oleh para kupu-kupu dan kumbang. Tak jarang tampak beberapa ekor rusa, burung-burung, juga kawanan monyet ikut memeriahkan suasana. Mereka menyanyikan kidung-kidung cinta, bercumbu, menggelar kebahagiaan hingga sang mentari beranjak ke peraduan.

 Si kembang sepatu menyukai seekor kumbang pendiam yang senantiasa ia lihat di kaki bukit itu tiap harinya. Entah apa yang membuatnya begitu suka pada kumbang itu atau sejak kapan rasa itu mulai ada. Haruskah kita selalu punya alasan untuk menyukai sesuatu? Nyatanya, si kembang sepatu hanya dapat melihat si kumbang dalam kemeriahan dari jarak jauh.

 Kawanan kumbang dan kupu-kupu itu hanya bergerombol paling jauh sampai di perut bukit, tak pernah sampai ke puncaknya. Wajar saja, sebab di kaki bukit hingga perut bukit itulah warna-warni semerbak kumpulan bebungaan hidup di sana. Letak si kembang sepatu terlalu jauh di atas sana, lagipula apalah arti setangkai kembang sepatu dibanding bunga-bunga nan elok itu?

Meski dengan keadaan semacam itu, si kembang sepatu tiap paginya selalu bangun paling awal. Berucap terima kasih pada sang mentari pagi, menggeliat memekarkan tiap kelopak tubuhnya, menyunggingkan senyum terbaik yang dimiliki sehabis mandi embun. Ia lakukan itu hingga lembayung senja menorehkan segurat jingga di cakrawala.

 Ia akan menjadi bunga terakhir yang mengatupkan kelopaknya, mengistirahatkan raganya untuk kembali mekar esok hari. Tiap hari ia selalu demikian tanpa mengenal kata lelah. Ia pendam impiannya yang terdalam pada si kumbang bagi dirinya sendiri. Ia sadar, dirinya hanyalah setangkai kembang sepatu di antara berjenis-jenis bunga di bukit itu, tak lebih tak kurang. Pun akan sulit bagi siapa saja untuk dapat menggapainya, demikian juga bagi si kumbang yang disukainya itu. Terlalu banyak rintang yang mesti dihadapi untuk dapat bagi keduanya bertemu. Toh si kembang sepatu tak mau menyakiti diri sendiri kepada si kumbang dengan memaksakan kehendak cintanya.

Sang rembulan merasa iba melihat keadaan yang demikian itu. Maka pada suatu malam di saat malam semakin tua, ia hampiri si kembang sepatu, sahabatnya.

"Aku tahu apa yang kau lakukan tiap harinya. Yang tidak kumengerti adalah, untuk apa kau lakukan semua itu? Tidakkah itu tampak berlebihan dan sia-sia belaka? Mengapa?"

"Rembulan sahabatku, kau mungkin benar dengan ucapanmu itu, bahwa aku tampak berlebihan. Tapi aku sadar dengan apa yang kulakukan dan aku yakin itu tidaklah sia-sia."

"Dan kumbang itu... dari binar matamu saja siapapun akan tahu betapa kau mencintainya benar, si kumbang itu. Kau yakin tidak salah pilih?"

"Lagi-lagi kau mungkin benar sahabatku, bahwa aku mungkin salah memilih pada siapa aku mencintai. Tapi aku tak bisa mendustai diriku sendiri dengan berkata tidak atas perasaanku padanya. Lagipula aku tidak memilih untuk itu, cintalah yang datang menghampiriku."

 "Ah... melihatmu seperti itu tiap harinya... kau tahu, aku sudah terlalu tua hanya untuk lagi-lagi menyaksikan kemalangan cinta. Aku benar-benar merasa kasihan padamu."

"Terima kasih atas segala perhatianmu, sahabatku. Aku memang tampak tolol karena semua itu, dan itulah resiko yang mesti kuhadapi. Tapi bagaimana lagi? Inilah diriku adanya. Bisa saja aku berpura-pura menjadi mawar ataupun anggrek, atau bahkan seroja. Tapi itu semua tetap saja bukanlah diriku, bagaimanapun indah dan wanginya mereka. Aku bersyukur atas keadaan siapa diriku selama ini dan aku tak mau berpura-pura menjadi yang lain. Adakah yang salah dengan menjadi diri sendiri?"

“Kau tahu? Aku telah hidup jauh lebih lama dari siapapun yang kau kenal dikali usia mereka semua. Telah kusaksikan mereka yang berpegang teguh pada jalannya, ada yang terperosok hingga tak bisa kembali, dan tak jarang ada yang mampu menemukan ujung jalan yang ditempuhnya. Yang paling banyak adalah mereka yang senantiasa mencari sepanjang kehidupannya akan sebuah jalan. Yang coba ingin kukatakan padamu adalah, selalu ada jalan sahabat, selalu ada. Jika kau mau membuka diri pada kemungkinan-kemungkinan. Kuharap kau berbahagia dengan jalan mana saja yang kau pilih.”
 
 ***

Malam kian larut. Cengkerik, katak, tonggeret, bersama anjing hutan sahut menyahut membentuk orkestra malam; mendendangkan puja-puji bagi Sang Pencipta kehidupan. Angin mendesir lirih menina bobokkan semua penghuni bukit. Sementara itu jalang mata burung hantu mengawasi semua yang ada. Jika dilihat dari kejauhan, bukit pada malam itu hanyalah serupa gundukan besar yang gelap, dan sunyi.

Hasan Sebastian mahasiswa penerima beasiswa Yayasan Baitul Mal (YBM) BRI jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam UIKA Bogor.
       
kirimkan ceritamu ke alazies@gmail.com dan kami akan bantu memposting ceritamu disini.

17 Juli, 2013

Estafet Da’wah

Rabu, Juli 17, 2013

Estafet Da’wah
Oleh :Arizqi Ihsan Pratama

Hujan deras di luar tak terdengar sedikitpun di ruangan ini, di  Aula yang terletak di Lantai 3 Gedung Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, ruangan ini tertutup rapat karena memang berAC, ruangan yang selalu menjadi sejarah bagi kami untuk memilih para pemimpin/mas’ul dakwah selanjutnya. 
 Seorang ketua yang akan segera turun jabatan itu akhirnya berbicara setelah satu jam tadi bermusyawarah untuk menentukan siapa mas’ul selanjutnya. 

Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh.. ikhwah fillah, Perjuangan ini masih panjang, meski kita kadang telah nampak letih, masa depan masih butuh pengorbanan kita, meski telah banyak mengorbankan apa yang  kita miliki, seribu uji mari kita hadapi, seribu salah mari kita perbaiki, seribu jalan mari kita lewati, Alhamdulillah syuro untuk menentukan siapa pengganti ana selanjutnya sudah usai dan tentunya dengan beberapa pertimbangan dalam musyawarah dengan menyebut bismillah insya Allah Akhuna…….???!!!” suasana hening, hanya suara yang berasal dari mesin pendingin ruangan itu yang terdengar sayup, karena memang sudah lama tidak di service. ketiga para calon mas’ul yang duduk didepan sana hanya tertunduk resah.
“ Muhammad Hafidz is the next leader” ujar sang ketua yang sebentar lagi turun jabatan itu dengan suaranya yang lantang.
Suara takbir dari para peserta sidang pun memecah keheningan itu….
Satu demi satu air mata berjatuhan membasahi pipinya, mukanya memerah,  ini pertamakalinya aku melihat Hafidz sahabatku menangis dengan sesedu-sedunya

Mungkin berat baginya untuk mengemban amanah besar ini, meneruskan estafet kepengurusan selanjutnya. Menjadi mas’ul, menjadi tauladan bagi sahabat-sahabatnya. Rasanya baru kemarin dia bergabung di lembaga dakwah ini, tetapi sekarang sudah diamanahi sebagai ketua umum di lembaga Dakwah ini yang akan membawa arah dakwah kampus selanjutnya.
Terbesit dalam fikirannya,  ayahnya yang sedang berbaring sakit di rumah dan dia harus menggantikan ayahnya bekerja demi menghidupi keluarga, tiga orang adik yang harus dia asuh. Anak-anak kecil di kampung yang harus ia ajar mengaji. “Mengapa harus aku? Mungkinkah aku bisa? Sanggupkah aku menjalankan semua ini?” Pertanyaan-pertanyaan itu terus terngiang dalam benaknya.  “Ya Allah, berikan aku petunjukmu.” Ujarnya dalam hati.
 MC pun memintanya untuk memberikan sepatah duapatah kata-kata sambutan dari  ketua baru yang telah terpilih, ketika itu suasana pun menjadi hening. “mau ngomong apa aku? Bahkan untuk berdiri pun aku tak sanggup, untuk memandang kedepan pun aku tak sanggup”.ungkapnya dalam hati.
Lima menit berlalu tanpa suara. 
Tiba-tiba hanphone nya pun berbunyi tanda ada sms masuk:
 “akhi, Jika da’wah adalah jalan panjang, maka jangan pernah berhenti temukan penghujungnya. Tapi siapkan kendaraan untuk percepat sampai pada tujuan . jika da’wah bebanya berat, jangan minta yang ringan, tapi mintalah punggung yang kuat untuk menopangnya. Dan jika da’wah pendukungnya sedikit, maka jadilah yang sedikit itu karena da’wah butuh orang-orang pilihan dalam setiap warnanya, semangat akhi, ana yakin antum bisa, Allah bersam kita”
Alhamdulillah, sms yang datang dari seorang sahabat tadi memberinya inspirasi, “ya Allah, jika memang ini kehendakmu, aku siap, aku akan berjuang di jalan ini, untuk menyeru kebaikan demi agamamu, aku selalu yakin intansurullah yansurukum, wa yusabit akdamakum.  akhirnya dia beranikan diri untuk berdiri, untuk menatap para audience, para pejuang dakwah  yang sedang menunggu ada-aba dari sang mas’ul barunya, dia pandang satu persatu sahabatnya itu, terlihat dari sorot mata mereka bahwa mereka siap untuk berjuang mengarungi samudra dakwah selanjunya bersamanya. Suasana itu membuat Hafidz semakin bersemangat, semakin yakin bahwa dia mampu.
“Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh..
Sejujurnya berat hati ini untuk mengemban amanah yang besar ini, rasanya belum pantas bagi ana untuk menjadi seorang mas’ul di sini, tapi apa daya, jika dakwah yang meminta sulit hati ini untuk berkata tidak, ana ucapkan terimakasih bagi asatidz, alumni, dan antum antuna semua para kader dakwah, yang telah mempercayai ana untuk menjadi mas’ul di sini, ana mohon dukungan, bantuan, kerja sama antum antuna semua dalam mengemban amanah ini agar kita bisa lebih baik kedepanya, sesuai dengan moto kita yaitu menjadi generasi Robbani yang berahlak Qur’ani, tapi itu semua tidak akan bisa tercapai tanpa bantuan kalian semua, apalah artinya ana sendiri jika tanapa kalian semua. Jika da’wah adalah jalan yang panjang, jangan pernah berhenti temukan penghujungnya. Tapi siapkan kendaraan untuk percepat sampai pada tujuan . jika da’wah bebanya berat, jangan minta yang ringan, tapi mintalah punggung yang kuat untuk menopangnya. Dan jika da’wah pendukungnya sedikit, jadilah yang sedikit itu karena da’wah butuh orang-orang pilihan dalam setiap warnanya, mari kita arungi samudra dakwah ini dengan penuh semangat dan jangan pernah menyerah”
Wassalamualaikum..
Takbir pun kembali bergemuruh menghidupkan suasana di ruangan itu. Seiring berjalannya waktu Akhrinya acara pun selesai, teman-temannya menyalaminya, memberikan semangat, memberikan motivasi. “akhi, antum ga sendiri, insayaAllah kita berjuang bersama”. “akhi, barokalloh fiik”, “akhi, antum kenapa nangis, jangan cengeng dong, malu tuh diliatin akhwat.. hehehe, semangat akhi”. Dll....
Tak sampai disitu, sms pun berdatangan satu demi satu memenuhi memori pesannya, diantara sms yang dia dapat dari sahabatnya:
“Aku bisa menggambarkan karakter seorang mujahid yang telah menyiapkan perbekalan dan persiapannya yaitu dakwah selalu ada di setiap sudut jiwanya, memenuhi relung hatinya, ia selalu dalam kondisi berfikir dan sangat perhatian agar ia dapat berdiri diatas kaki yang selalu siap sedia. Jika diseru ia menjawab, jika di panggil ia memenuhi panggilannya, langkahnya bicaranya, ruhnya, kesungguhannya, peranannya selalu dalam lingkup medan dakwah yang ia prsiapkan dirinya untuk hal tersebut (hasan al bana) barakalloh atas amanah barunya..
“Dan berjihadlah kamu dijalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya, Dia telah memilihmu, dan Ia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama, Allah telah menamakan kamu orang-orang muslim sejak dulu dan begitu pula dalam Al-Qur’an . Agar Rosul itu menjadi saksi atas dirimu dan segenap manusia. Maka laksanakan shalat, tunaikan zakat, dan berpegang teguhlah kepada Allah, Dialah pelindungmu. Dia sebaik-baik pelindung dan penolong” (Al-Hajj:78), akhi teruslah bergerak, jangan pernah berhenti karena satu duri menghadangmu, padahal kau telah melewati ratusan duri, maka teruskanlah perjalanan ini dan persiapkan dirimu untuk menghadapi ribuan duri lain yang akan menghalangi perjalanamu, yakinlah Allah bersama kita. Semangat akhi, antum bisa
“Barakallah fiik. Congratulation, I am very proud akhi, semoga kesempatan menjadi ketua bisa semakin dekat dengan Allah, menambah ilmu, brtambah bijak. Dan mudah2han semakin dihormati oleh anggota2. Ma’aka najah wa salamah.”
  akhirnya hari-harinya pun dilalui dengan kesibukan yang luar biasa padat, walau kadang ditengah-tengah perjalanan banyak dinamika yang terjadi, banyak kerikil-kerikil yang kadang membuatnya goyah, banyak duri yang membuatnya perih, tetapi dia tetap berusaha untuk tetap bertahan di jalan dakwah ini, jalan pewaris para nabi, dia tetap semangat, tetap “semangat berdakwah karena Allah”, dia tetap berusaha memaksimalkan amanah-amanahnya, mengatur dan membagi waktu, antara kuliah, organisai dan bekerja.
 Satu tahun pun berlalu, hingga tiba akhirnya dipenghujung tahun ini untuk suksesi, mempersiapkan kepengursan selanjutnya, dan mencari Who is the next leader? Sama seperti waktu itu.

Al-Hijri II
Dipenghujung Tahun

12 Mei, 2013

Cerpen: Gadis Penjaja Payung

Minggu, Mei 12, 2013

Oleh : Heni Ayaka Hamasah

Hujan yang turun dengan derasnya, tidak membuat stasiun disore itu sepi akan orang-orang yang lalu-lalang. Terlihat segerombolan orang berseragam kantoran dengan menjinjing tas keluar dari pintu gerbong kereta, diikuti anak sekolah dengan seragam putih abu-abu, yang terlihat masih asik bersenda gurau dengan teman-temannya di dalam gerbong kereta, sembil berdesakan keluar gerbong.

Tampak pula dari jendela gerbong, laki-laki paruh baya yang sedang berdiri di belakang gerombolan anak-anak sekolah, laki-laki dengan gaya khasnya, yang menggunakan kemeja lengan panjang ala tempo dulu lengkap dengan celana bahannya—terlihat sangat sabar menunggu antrian.

Di luar gerbong kereta, terlihat aktifitas para pedagang yang sangat ramai, dagangan yang di jajakan sangat beraneka ragam, berjajar rapih di kios-kios yang telah disediakan PT. Kereta Api Indonesia (KAI).

Tampak pula di pelataran gerbang stasiun,  anak-anak penjaja payung yang sedang asik menjajakan payung di tengah-tengah derasnya guyuran hujan. Mereka terlihat begitu riang, seakan telah bersahabat dengan hujan, terutama bagi ku, walau petir terus bergemuruh menyambar di langit yang mulai menghitam, namun tidak menyurutkan langkah kaki kecilku untuk terus menjajakan payung.
________***_______

Aku Zahra berusia 7 tahun. Aku memiliki paras wajah bulat dengan mata sipit, serta lesung pipi yang menghiasi pipi chubby-ku. Aku adalah salah satu gadis penjaja payung di stasiun ini, kulakukan pekerjaan ini tak lain untuk membantu Ibu mencari uang dan guna meraih cita-cita menjadi wartawan. Seperti biasanya, setiap pulang sekolah, aku selalu pergi ke stasiun untuk menjajakan payung. Dengan riang aku melangkahkan kaki menuju stasiun Bogor. 

Genangan-genangan air di sekitar jalan Merdeka, sudah mulai nampak, lobang-lobang yang disebabkan karena kerusakan jalan telah dipenuhi dengan air hujan. Mulai nampak beberapa penjaja payung berdatangan. Tubuh kecilku berlari-lari tak mau kalah dengan penjaja payung lainnya, aku menghampiri orang-orang yang turun dari kereta, berusaha menjajakan payung, diantara orang-orang yang hilir mudik sili berganti di stasiun.

“Pak payungnya pak? ”
“Berapa harga sewanya,” Tanya bapak bertubuh besar tinggi.
“Dua ribu aja pak, mau ya pak, ? Nanti aku antar deh pak sampai tempat yang bapak mau” Rayuku sambil mengikuti langkahnya.
“Dua ribu ? mahal. Gak ah, enggak jadi”
“Terus berapa Pak maunya? Kan biasanya segitu pak,” Aku berusaha mengikuti langkahya yang cepat di tengah hujan yang turun dengan deras.
“Gak, saya enggak mau, udah sana pergi !“ Bentaknya sambil mendorong tubuhku kearah belakang.
Aku pun tersungkur ke dalam kobangan tanah yang berbatu. Rasa sakit pun tak terelakan terutama dibagian kepalaku, aku merintih kesakitan. Bapak itu lantas pergi bigitu saja meninggalkanku. Aku meringis kesakitan, saat perlahan mulai ku pegang dahiku, kudapati darah segar yang merembas, mengslir membasahi telapak tanganku.
Hari semakin sore, namun luka di dahiku masih terus mengeluarkan darah, aku terus menangis di pinggir stasiun.
“Zahra kamu kenapa ?“ Tanya Kak. Aina yg tiba-tiba sudah berada di depanku.
“Kak. Aina,“ Aku memeluk mahasiswa jurnalistik itu dan menceritakan apa yang terjadi.
“Astagfirullah. Ayo kita ke Rumah Sakit ya sayang, luka kamu harus segera diobati,” 
Kak. Aina yang sudah menganggapku sebagai adiknya dengan sigap membawaku ke Rumah Sakit lantas mengantarku pulang ke rumah. Rumahku terletak tidak begitu jauh dari stasiun, hanya membutuhkan waktu 15 menit jika ditempuh dengan berjalan kaki.
___***___
Di hari minggu ini Bogor telah diguyur hujan turun sedari pagi, membuatku enggan berdiam diri di rumah. Ketika telah merasa lebih baik aku pun bergegas ke stasiun untuk menjaja payung. Ibu telah berangkat selepas shalat subuh untuk menjual nasi timbel.
Benar saja baru beberapa jam menjajakan payung dan hasilnya sudah ada sepuluh orang yang menyewa payungku, aku mengucap syukur dan membayangkan uang di saku celenganku.
Sudah berapa banyak ya uang yang ada di celenganku ? hmm apa sudah berjuta-juta ya? Kalau sudah banyak pasti nanti cukup buat biaya aku kuliah, nanti aku pakai baju toga terus di belakang namaku ada bergelar sarjana jurnalistik. Asik… nanti aku jadi wartawan terus aku akan meliput banyak berita, masuk TV, terus punya banyak uang, bisa ajak Ibu jalah-jalan deh. Huuaaah semoga uang ini bisa menambahkan lagi jumlah yang ada.

“Zahra”
Suara seorang laki-laki paruh baya itu membuyarkan lamunanku, dia sangat tergesa-gesa datang menghampiriku dan mengatakan bahwa Ibuku saat ini sedang berada di Rumah Sakit. Aku sangat terkejut mendengar kabar itu, aku lantas pergi ke Rumah Sakit tempat Ibu dirawat.
Di depan ruang UGD rumah sakit, aku tak bisa berhenti manangis. Tubuhnya yang terpental cukup jauh setelah sepeda sebuah motor menabraknya, mengakibatkan Ibu koma. Aku yang sedari tadi berdiri di depan UGD bertambah bingung setelah tahu biaya yang harus aku keluarkan, karena penabrak melarikan diri. Aku tak tahu dari mana aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu. Namun aku sadar aku tidak boleh putus asa, aku percaya selalu ada jalan dari setiap masalah.
Berminggu-minggu telah ku kumpulkan uang, namun semua itu tidaklah cukup untuk membayar pengobatan Ibu di Rumah Sakit. Hanya tersisa pilihan untuk membobol semua tabunganku. Hatiku sangat bimbang apa ini satu-satunya yang dapat melunasi semua biaya Rumah Sakit, uang ini telah ku kumpulkan selama 3 tahun, ya Allah apa tidak ada jalan lain? Kalau uang ini aku pakai, pupuslah sudah harapanku menjadi seorang sarjana jurnalistik. Aku masih dalam kebingungan, kucoba bersujud pada-Nya berdoa mengharap petunjuk terbaik-Nya. Saat itu ketika aku menundukan kepala wajah ibu terlintas dalam benakku.

Tidak ada pilihan lain, ya mungkin uang yang telah ku kumpulkan selama tiga tahun ini harus aku keluarkan untuk membayar pembiayaan Rumah sakit ibu. Aku harus ikhlas demi kesembuhan Ibu.

____***___

Disisi lain, Aina masih terus mencari keberadaan Zahra. Dia yang diam-diam menjadikan Zahra sebagai objek liputannya ingin segera menyampaikan kabar gembira ini pada gadis kecil itu, keyakinannya terwujut. Kisah inspirasi Zahra berhasil mendapatkan peringkat pertama lomba liputan kisah inspirasi 2012 yang diadakan salah satu perusahaan yang bergerak di bidang jurnalistik, yang bekerjasama dengan salah satu Universitas Negeri di Jakarta. Dengan paket hadiah uang tunai dan beasiswa untuk tokoh dalan ceritanya.

Di hari ke tujuh pencarian, Aina kembali mencari Zahra, dia menanyakan pada para pedagang dan pengamen yang ada di stasiun, namun tidak ada seorang pun yang tahu. Hingga datang seorang bapak paruh baya, yang menuturkan bahwa Ibu Zahra masuk Rumah sakit dan koma. Aina pun segera mencari Rumah Sakit tempat Ibu Zahra dirawat.

Sampailah Aina di depan ruang rawat. Dimana di dalam ruangan ada sesosok gadis kecil dengan mukena putih, yang sedang melantunkan ayat-ayat Al-Quran di samping seorang Ibu, yang sedang terbaring di ranjang Rumah Sakit. Gadis kecil yang benar-benar menginspirasinya. Sifatnya yang santun, penuh semangat, pantang menyerah, keuletannya dalam bekerja, serta ketekunannya dalam Agama. Aina masih berdiri mematung di pintu ruang rawat kelas tiga itu, tanpa ia sadari air mata mengalir membasahi pipinya. Aina pun segera menghampiri Zahra lantas memeluknya erat, kemudian dengan penuh rasa syukur Aina menjelaskan semuanya pada Zahra juga Ibunya.

Mendengar semua itu, Ibu Zahra yang sudah sadarkan diri sangat terharu bahagia, senyum mengembang di pipi Ibu yang masih terlihat sangat lemah itu. Zahra masih terpaku dengan penjelasan Aina, air matanya seketika  tumpah. Akhirnya perjuangannya menjajakan payung tidak sia-sia, uangnya yang telah dikumpulkan selama tiga tahun, yang telah habis dipakai untuk membayar biaya Rumah Sakit, kini telah tergantikan dengan uang hasil hadiah yang diberikan Aina. Secercah sinar harapan pun semakin jelas nampak, mimpinya untuk menjadi seorang sarjana jurnalistik kini ada di depan mata, diantara hujan dan payungnya.

adds