Azies-site -Pada tanggal 8 januari 2010 lalu bertempat di istana Negara, Presiden SBY meresmikan Gerakan Nasional Wakaf Uang. Beliau pada kesempatan tersebut, juga mewakafkan uang senilai Rp 100 juta yang diserahkan kepada Badan Wakaf Indonesia (BWI). Dicanangkannya gerakan tersebut semakin memperlebar ruang bagi instrument ekonomi syariah untuk mengambil peran yang lebih besar dalam pembangunan nasional. Apalagi mengingat potensi wakaf uang yang sangat besar, yang jika dapat digerakan , dapat menjadi sumber dana pembangunan yang luar biasa . pada kesempatan yang sama , presiden juga meminta adanya sinkronisasi antara wakaf uang dan zakat, karena keduanya memiliki tujuan yang sama, yaitu menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat.
Spiritual Economics
Munculnya instrument pembangunan ekonomi berbasis agama, seperti zakat dan wakaf, sesungguhnya merupakan jawaban atas kegagalan sistem ekonomi konvensional di dalam menyelesaikan problematika yang ada. Bagi penulis, pendekatan konvensional yang mencoba memisahkan ajarann agama dan urusan dunia, tidak akan pernah mungkin berhasil diterapkan pada sebuah komunitas masyarakat atau bangsa yang masih memiliki kepercayaan yang kuat terhadap agama. Karena itu, wajarlah jika premis-premis ekonomi yang “bebas nilai agama” justru menciptakan kegagalan ekonomi masyarakat itu sendiri.
Bahkan di Barat sendiri saat ini telah muncul gejala kegelisahan jiwa yang teramat dalam, akibat terlalu dominannya pendekatan materialism berbanding spiritualisme. Sehingga sekarang mulai berkembang apa yang dinamakan dengan Spiritual Economics, sebuah mazhab yang mencoba melihat persoalan ekonomi tidak hanya dari perspektif material semata, melainkan juga perspektif spiritual. Kemunculan mazhab ekonomi spiritual ini merupakan antitesa terhadap pendekatan ekonomi neoklasik yang lebih menitikberatkan kesejahteraan pada tingginya angka pendapatan dan pertumbuhan ekonomi semata.
Amit Goswani, seorang pakar asal Universitas Oregon AS, menyatakan bahwa kebutuhan manusia dapat
diklasifikasikan ke dalam empat tingkatan. Pertama , kebutuhan material, dimana ini adalah kebutuhan yang tingkatnya paling rendah. Kedua, energy vital, yang bersumber dari kekuatan perasaan. Ketiga, kebutuhan mental, yang terkait dengan kekuatan pikiran. Dan yang keempat, kebutuhan supramental, yang terkait dengan etika, cinta, kepedulian terhadap sesame, dan kebahagiaan hakiki.
Goswani menyatakan bahwa ekonomis spiritual harus mampu menyediakan ruang bagi keempat tingkatan kebutuhan manusia tersebut. Salah satu kegagalan ekonomi neoklasik adalah karena ia lebih mengutamakan pemenuhan kebutuhan materialisme berbanding aspek lainnya. Seluruh premis dan teori yang di bangunnya, mengasumsikan manusia hanya sebagai mahkluk material semata. Sementara persoalan seperti cinta dan kepedulian, sama sekali tidak tercermin dalam asumsi dan teori dasar ilmu ekonomi yang dibangunnya. Padahal bangunan ilmu inilah yang akan menggerakan arah sebuah sistem, karena sistem sesungguhnya merupakan implementasi dari ilmu. Inilah yang kemudian menciptakan persoalan sosial berkepanjangan. Pendapatan boleh tinggi, namun jiwa mengalami kegelisahan dan kekeringan.
Islam dan fitrah
Kondisi diatas pada dasarnya merupakan potret atas pengabaian fitrah manisia dalam ekonomi konvensional. Homo economicus merupakan profil manusia yang lebih mengedepankan self interst dibandingkan social interest. Ini tentu saja berbeda dengan Homo islamicus yang menjadikan ketundukan kepada Allah SWT Dan Rasul-Nya diatas segalanya. Bagaimanapun, adalah fitrah manusia untuk selalu dekat dengan sang penciptanya. Manusia tidak bisa menjauh dari Allah karena ketika menjauh, ada banyak persoalan yang akan dihadapinya. Aka nada kegelisahan luar biasa yang akan dirasakanya .
Karena itu, menerapakan sistem ekonomi yang menjunjung tinggi fitrah manusia adalah sebuah keniscayaan. Disinilah urgensi menjadikan ekonomi syariah adalah ekonomi yang dibangun diatas fitrah dasar manusia. Pendekatan yang digunakannya lebih humanistik dan sesuai dengan karakter dasar manusia. Sebagai contoh, ajaran tentang zakat dan infak.
Meminjam kacamata spiritual economics , instrument zakat dan infak ini telah memenuhi syarat pemenuhan keempat kebutuhan manusia. Adanya transfer aset dan kekayaan dari kelompok The Have kepada kelompok The Have not, menunjukan terjadinya pemenuhan kebutuhan material kelompok Dhuafa.
Selanjutnya, bagi muzakki dan munfik, ajaran zakat dan infak akan membersihkan jiwa sekaligus mendorong munculnya perasaan belas kasih terhadap mereka yang mengalami ketidakberuntungan. Sedangkan bagi mustahik, keberadaan zakat akan menghilangkan perasaan dengki atas kekayaan yang dimiliki oleh muzakkki. Sehingga akan tercipta paradigm bahwa membela nasib sesame merupakan kebutuhan dasar bagi setiap insane. Pada akhirnya, kondisi ni akan melahirkan kekuatan dan kebersamaan sosial yang sangat tinggi. Dengan membela kaum yang lemah, maka kesejahteraan ekonomi sekaligus harmonisasi sossial akan berjalan berirngan.tidak ada konflik diantara keduanya.
Sebaliknya, jjka yang berkembang adalah logika eksploitasi sekelompok manusia atas kelompok manusia yang lain, maka kehancuran masyarakatlah yang menjadi hasilnya. Pertumbuhan ekonomi yang dinikmati segelintir kelompok hanya akan menjadi sumber konflik dan destruksi sosial. Karena itu, kembali kepada ekonomi syariah, merupakan upaya kita untuk memfitrahkan kembali sistem perekonomian nasional, yang lebih mencerminkan keadilan dan kebersamaan. Proses penguatan instrument ekonomi syari pada semua tingkatan masyarakat yang saat ini sedang dlakukan, harus mendapat dukungan kita semua.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab
dikutif dari buletin jumat al-hijri II Edisi 311/19 Shafar 1431 H
Spiritual Economics
Munculnya instrument pembangunan ekonomi berbasis agama, seperti zakat dan wakaf, sesungguhnya merupakan jawaban atas kegagalan sistem ekonomi konvensional di dalam menyelesaikan problematika yang ada. Bagi penulis, pendekatan konvensional yang mencoba memisahkan ajarann agama dan urusan dunia, tidak akan pernah mungkin berhasil diterapkan pada sebuah komunitas masyarakat atau bangsa yang masih memiliki kepercayaan yang kuat terhadap agama. Karena itu, wajarlah jika premis-premis ekonomi yang “bebas nilai agama” justru menciptakan kegagalan ekonomi masyarakat itu sendiri.
Bahkan di Barat sendiri saat ini telah muncul gejala kegelisahan jiwa yang teramat dalam, akibat terlalu dominannya pendekatan materialism berbanding spiritualisme. Sehingga sekarang mulai berkembang apa yang dinamakan dengan Spiritual Economics, sebuah mazhab yang mencoba melihat persoalan ekonomi tidak hanya dari perspektif material semata, melainkan juga perspektif spiritual. Kemunculan mazhab ekonomi spiritual ini merupakan antitesa terhadap pendekatan ekonomi neoklasik yang lebih menitikberatkan kesejahteraan pada tingginya angka pendapatan dan pertumbuhan ekonomi semata.
Amit Goswani, seorang pakar asal Universitas Oregon AS, menyatakan bahwa kebutuhan manusia dapat
diklasifikasikan ke dalam empat tingkatan. Pertama , kebutuhan material, dimana ini adalah kebutuhan yang tingkatnya paling rendah. Kedua, energy vital, yang bersumber dari kekuatan perasaan. Ketiga, kebutuhan mental, yang terkait dengan kekuatan pikiran. Dan yang keempat, kebutuhan supramental, yang terkait dengan etika, cinta, kepedulian terhadap sesame, dan kebahagiaan hakiki.
Goswani menyatakan bahwa ekonomis spiritual harus mampu menyediakan ruang bagi keempat tingkatan kebutuhan manusia tersebut. Salah satu kegagalan ekonomi neoklasik adalah karena ia lebih mengutamakan pemenuhan kebutuhan materialisme berbanding aspek lainnya. Seluruh premis dan teori yang di bangunnya, mengasumsikan manusia hanya sebagai mahkluk material semata. Sementara persoalan seperti cinta dan kepedulian, sama sekali tidak tercermin dalam asumsi dan teori dasar ilmu ekonomi yang dibangunnya. Padahal bangunan ilmu inilah yang akan menggerakan arah sebuah sistem, karena sistem sesungguhnya merupakan implementasi dari ilmu. Inilah yang kemudian menciptakan persoalan sosial berkepanjangan. Pendapatan boleh tinggi, namun jiwa mengalami kegelisahan dan kekeringan.
Islam dan fitrah
Kondisi diatas pada dasarnya merupakan potret atas pengabaian fitrah manisia dalam ekonomi konvensional. Homo economicus merupakan profil manusia yang lebih mengedepankan self interst dibandingkan social interest. Ini tentu saja berbeda dengan Homo islamicus yang menjadikan ketundukan kepada Allah SWT Dan Rasul-Nya diatas segalanya. Bagaimanapun, adalah fitrah manusia untuk selalu dekat dengan sang penciptanya. Manusia tidak bisa menjauh dari Allah karena ketika menjauh, ada banyak persoalan yang akan dihadapinya. Aka nada kegelisahan luar biasa yang akan dirasakanya .
Karena itu, menerapakan sistem ekonomi yang menjunjung tinggi fitrah manusia adalah sebuah keniscayaan. Disinilah urgensi menjadikan ekonomi syariah adalah ekonomi yang dibangun diatas fitrah dasar manusia. Pendekatan yang digunakannya lebih humanistik dan sesuai dengan karakter dasar manusia. Sebagai contoh, ajaran tentang zakat dan infak.
Meminjam kacamata spiritual economics , instrument zakat dan infak ini telah memenuhi syarat pemenuhan keempat kebutuhan manusia. Adanya transfer aset dan kekayaan dari kelompok The Have kepada kelompok The Have not, menunjukan terjadinya pemenuhan kebutuhan material kelompok Dhuafa.
Selanjutnya, bagi muzakki dan munfik, ajaran zakat dan infak akan membersihkan jiwa sekaligus mendorong munculnya perasaan belas kasih terhadap mereka yang mengalami ketidakberuntungan. Sedangkan bagi mustahik, keberadaan zakat akan menghilangkan perasaan dengki atas kekayaan yang dimiliki oleh muzakkki. Sehingga akan tercipta paradigm bahwa membela nasib sesame merupakan kebutuhan dasar bagi setiap insane. Pada akhirnya, kondisi ni akan melahirkan kekuatan dan kebersamaan sosial yang sangat tinggi. Dengan membela kaum yang lemah, maka kesejahteraan ekonomi sekaligus harmonisasi sossial akan berjalan berirngan.tidak ada konflik diantara keduanya.
Sebaliknya, jjka yang berkembang adalah logika eksploitasi sekelompok manusia atas kelompok manusia yang lain, maka kehancuran masyarakatlah yang menjadi hasilnya. Pertumbuhan ekonomi yang dinikmati segelintir kelompok hanya akan menjadi sumber konflik dan destruksi sosial. Karena itu, kembali kepada ekonomi syariah, merupakan upaya kita untuk memfitrahkan kembali sistem perekonomian nasional, yang lebih mencerminkan keadilan dan kebersamaan. Proses penguatan instrument ekonomi syari pada semua tingkatan masyarakat yang saat ini sedang dlakukan, harus mendapat dukungan kita semua.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab
dikutif dari buletin jumat al-hijri II Edisi 311/19 Shafar 1431 H