RUNTUHNYA SENDI-SENDI ORIENTALISME DALAM KAJIAN ISLAM
Didin Saefuddin Buchori
Didin Saefuddin Buchori
A. Pengertian
Orientalisme adalah studi islam yang dilakukan oleh orang-orang Barat. Kritikus orientalisme bernama Edward W Said menyataka bahwa orientalisme adalah suatu cara untuk memahami dunia Timur berdasarka tempatnya yang khusus dalam pengalaman manusia Barat Eropa[1].
Secara bahasa orientalisme berasal dari kata “orient” yang artinya “timur”. Secara etnologis orientalisme bermakna “bangsa-bangsa ditimur”, dan secara geografis bermakna “hal-hal yang bersifat timur, yang sangat luas ruang lingkupnya.” Orang yang menekuni dunia ketimuran ini disebut orientalis. Menurut Grand Larousse Encylopedique seperti dikutip Amin Rais[2], orientalis adalah sarjana yang menguasai maalah-maalah ketimuran, bahasa-bahsanya, kesusastraannya, dan sebagainya. Karena itu orientalisme dapat dikataka merupakan semacam prinsip-prinsip tertentu yang menjadi ideology ilmiah kaum orientalis.
Kata “isme” menunjukan pengertian tentang suatu pfaham. Jadi, orientalisme bermakna suatu faham atau aliran yang berkringinan menyelidiki hal0hal yang berkaitan dengan bangsa-bangsa ditimur beserta linkungannya.
Secara bahasa orientalisme berasal dari kata “orient” yang artinya “timur”. Secara etnologis orientalisme bermakna “bangsa-bangsa ditimur”, dan secara geografis bermakna “hal-hal yang bersifat timur, yang sangat luas ruang lingkupnya.” Orang yang menekuni dunia ketimuran ini disebut orientalis. Menurut Grand Larousse Encylopedique seperti dikutip Amin Rais[2], orientalis adalah sarjana yang menguasai maalah-maalah ketimuran, bahasa-bahsanya, kesusastraannya, dan sebagainya. Karena itu orientalisme dapat dikataka merupakan semacam prinsip-prinsip tertentu yang menjadi ideology ilmiah kaum orientalis.
Kata “isme” menunjukan pengertian tentang suatu pfaham. Jadi, orientalisme bermakna suatu faham atau aliran yang berkringinan menyelidiki hal0hal yang berkaitan dengan bangsa-bangsa ditimur beserta linkungannya.
B Latar Belakang Munculnya Orientalisme
Munculnya orientalisme tidak terlepas dari bberapa factor yang melatarbelakanginya, antara lain akibat perang Salib atau ketika dimulainya pergesekan politik da agama antara islam dan Kristen Barat di Oalestina. Argumentasi mereka menyatakan bahwa permusuhan politik berkecamuk antara umat islam dan Kristen Selama pemerinta Naruddin Zanki dan Shalahuddin al-Ayyubi. Karena kekalahan demi kekalahan yang dialami pasukan Kristen maka semangat membalas dendam tetap membara selama berabad-abad.
Fakto lainya adalah bahwa orientalisme muncul untuk kepentingan penjajahan Eropa terhadap Negara-negara Arab dan Islam di Timur, Afrika Utara dan Asia Tenggara, serta kepentingan mereka dalam memahami adat istiadat dan agama bangsa-bangsa jajahan iyu demi memperkokoh kekuaaan an dominasi ekonomi mereka pada bangsa-bangsa jajahan.
Factor-factor tersebut mendorong mereka menggalakan studi orientalisme dalam berbagai bentuknya di perguruan-perguruan tinggi dengan perhatian dan bantuan dari pemerintah mereka.
C Dogma Orientalisme
Menurut pengamatan Amien Rais [3] sekurang-kurangnya terdapat enam dogma orientalisme, yaitu pertama, ada perbedaan mutlak dan perbedaan sistematik antara Barat yang rasional, maju, manusiawi dan superior, dengan Timur yang sesat, irrasional, terbelakang dan inferior. Menurut anggapan mereka, hanya orang Eropa dan Amerika yang merupakan manusia-penuh, sedangkan orang Asia-Afrika hanya bertaraf setangah-manusia.
Edward W Said menyatakan orientalisme memandang Timur sebagai sesuatu yang kebaradaannya tidak hanya disuguhkan melainkan juga tetap tinggal pasti dalam waktu dan tempat bagi Barat. Seluruh periode sejarah budaya, politik dan sosial timur hanyalah dianggap sebagai tanggapan semata-mata terhadap Barat. Barat adalah pelaku (actor),sedangkan Timur hanyalah penanggap (reactor) yang fasif. Barat adalah penonton, penilai dan juri bagi setiapsegi tingkah laku Timur[4].
Fakto lainya adalah bahwa orientalisme muncul untuk kepentingan penjajahan Eropa terhadap Negara-negara Arab dan Islam di Timur, Afrika Utara dan Asia Tenggara, serta kepentingan mereka dalam memahami adat istiadat dan agama bangsa-bangsa jajahan iyu demi memperkokoh kekuaaan an dominasi ekonomi mereka pada bangsa-bangsa jajahan.
Factor-factor tersebut mendorong mereka menggalakan studi orientalisme dalam berbagai bentuknya di perguruan-perguruan tinggi dengan perhatian dan bantuan dari pemerintah mereka.
C Dogma Orientalisme
Menurut pengamatan Amien Rais [3] sekurang-kurangnya terdapat enam dogma orientalisme, yaitu pertama, ada perbedaan mutlak dan perbedaan sistematik antara Barat yang rasional, maju, manusiawi dan superior, dengan Timur yang sesat, irrasional, terbelakang dan inferior. Menurut anggapan mereka, hanya orang Eropa dan Amerika yang merupakan manusia-penuh, sedangkan orang Asia-Afrika hanya bertaraf setangah-manusia.
Edward W Said menyatakan orientalisme memandang Timur sebagai sesuatu yang kebaradaannya tidak hanya disuguhkan melainkan juga tetap tinggal pasti dalam waktu dan tempat bagi Barat. Seluruh periode sejarah budaya, politik dan sosial timur hanyalah dianggap sebagai tanggapan semata-mata terhadap Barat. Barat adalah pelaku (actor),sedangkan Timur hanyalah penanggap (reactor) yang fasif. Barat adalah penonton, penilai dan juri bagi setiapsegi tingkah laku Timur[4].
Sikap-sikap orientalis kontemporer, lanjut Said, telah menguasai pers dan pikiran masyarakat. Orang-orang Arab, umpamanya, dianggap si hidung belang yang senang menerima suap yang kekayaannya merupakan penghinaan terang-terangan terhadap peradaban sejati. Selalu ada asumsi bahwa meskipun konsumen Barat tergolong mitoritas dari penduduk dunia, mereka berhak untuk memiliki atau membelanjakan sebagian besar sumber daya dunia. Mengapa? Karena mereka manusia-manusia sejati yang berlainan dengan dunia Timur[5].
Kedua, abstraksi dan teorisasi tentang Timur lebih banyak didasarkan pada teks-teks klasik, dan hal ini lebih diutamakan dari peda bukti-bukti nyata dari mayarakat Timur yang konkret dan riil. Dalam masalah ini, para orientalis tidak bias mengelakan tuduhan Edward W Said baha mereka tidak mau menyelidiki perubahaan yang terjadi dalam masyarakat Timur, tetapi lebih mengutamakan isi teks-tek kuno sehingga orientalisme berputar-putar di sekitar studi tekstual, tidak realistis. Philiph K Hitti, umpanya, mengatakan bahwa untuk mempelajari islam dan umatnya tidak diperlukan kerangka teori baru karena, menuutnya, masyarakat Islam yang sekarang Sembilan abad yang lalu.
Keempat, pada dasarnya Timut itu merupakan sesuatu yang perlu ditakuti, atau sesuatu yang perlu ditaklukkan. Apabila seseorang orientalis mempelajari Islam dan umatnya, keempat dogma itu perlu ditambah dengan dua dogma pokok lainnya.
Kelima, al-Quran bukanlah wahyu Ilahi, melainkan buku karangan Muhammad yang merupakan gabungan unsur-unsur agama Yahudi, Kristen, dan tradisi Arab pra-Islam. Seorang orientalis bernama Chateaubriand, misalnya, mengindoktrinasi murid-muridnya bahwa al-Quran itu sekedar buku karangan Muhammad. Al-Quran tidak memuat prinsip-prinsip peradaban maupun ajaran yang memperluhur watak manusia. Ia bahkan mengatakan, al-Quran tidak mengutuk tirani dan iak mengajurkan cinta pada keerdekaan.
Keenam, kesahihan atau orientisitas semua hadis harus diragukan. Malah ada yang mengeritik syarat-syarat sehihnya hadist seperti yang dilakukan Joseph Schacht. Amien Rais menyindir bahwa disamping ada hadis riwayat Bukhari dan Muslim ada juga “hadis riwayat Josep Schacht”.
D Tujuan Orientalisme
Kedua, abstraksi dan teorisasi tentang Timur lebih banyak didasarkan pada teks-teks klasik, dan hal ini lebih diutamakan dari peda bukti-bukti nyata dari mayarakat Timur yang konkret dan riil. Dalam masalah ini, para orientalis tidak bias mengelakan tuduhan Edward W Said baha mereka tidak mau menyelidiki perubahaan yang terjadi dalam masyarakat Timur, tetapi lebih mengutamakan isi teks-tek kuno sehingga orientalisme berputar-putar di sekitar studi tekstual, tidak realistis. Philiph K Hitti, umpanya, mengatakan bahwa untuk mempelajari islam dan umatnya tidak diperlukan kerangka teori baru karena, menuutnya, masyarakat Islam yang sekarang Sembilan abad yang lalu.
Keempat, pada dasarnya Timut itu merupakan sesuatu yang perlu ditakuti, atau sesuatu yang perlu ditaklukkan. Apabila seseorang orientalis mempelajari Islam dan umatnya, keempat dogma itu perlu ditambah dengan dua dogma pokok lainnya.
Kelima, al-Quran bukanlah wahyu Ilahi, melainkan buku karangan Muhammad yang merupakan gabungan unsur-unsur agama Yahudi, Kristen, dan tradisi Arab pra-Islam. Seorang orientalis bernama Chateaubriand, misalnya, mengindoktrinasi murid-muridnya bahwa al-Quran itu sekedar buku karangan Muhammad. Al-Quran tidak memuat prinsip-prinsip peradaban maupun ajaran yang memperluhur watak manusia. Ia bahkan mengatakan, al-Quran tidak mengutuk tirani dan iak mengajurkan cinta pada keerdekaan.
Keenam, kesahihan atau orientisitas semua hadis harus diragukan. Malah ada yang mengeritik syarat-syarat sehihnya hadist seperti yang dilakukan Joseph Schacht. Amien Rais menyindir bahwa disamping ada hadis riwayat Bukhari dan Muslim ada juga “hadis riwayat Josep Schacht”.
D Tujuan Orientalisme
Edward W Said melakukan kritik yang keras terhadap orientalisme. Menurutnya. Menurutnya, orientalisme tidak terletak dalam suatu ruangan hampa budaya[6]. Barat, tulis Said, betanggung jawab membentuk persepsi yang keliru tentang dunia yang ingin mereka “jalaskan”.
Merupakan suatu kenyataan baha para orientalis munyajikan karya tulisnya yang didasarkan pada tujuan tertentu. Secara garis tijuan itu terbagi tiga yaitu :
(1) untuk kepentingan penjajahan
(2) untuk kepentingan agama mereka
(3) untuk kepentingan ilmu pengetahuan.
Untuk kepentinagn penjajahan jalas tergambar dari penelitian-penelitian yang serius yang dilakukan para orientalis. Dalam kasus Indonesia, Snouck Hurgronye begitu jelas. Nama ini oleh pemerintah Belanda diberi kepercayaan untuk mangkaji Islam sedalam-dalamnya sehingga sempat menetap di Mekkah bertahun-tahun. Namun tujuan pengkajiannya tidak lain kecuali untuk melemahkan perlawanan umat islam terhadap Belanda serta mengobrak-abrik pertahanan persatuan dan pertahanan kaum muslim dengan politik belah bambunya[7].
Untuk kepentingan agama juga jelas karena semua penjajah yang menguasai Negara-negara muslim adalah berlatar belakang agama Kristen. Sekalipun ada teori bahwa para kolonialis tidak berambisi mengkristenkan penduduk, namun setidak-tidaknya para penginjil telah menemukan momentumnya untuk membonceng pihak kolonialis untuk menyebarkan Kristen ke tengah penduduk.
Untuk kepentingan ilmu pengetahuan; memang para orientalis beraal dari para intelek dan sarjana yang serius mengkaji masalah-masalah ketimuran. Hampir di tiap universitas di Amerika selalau ada pusat-pusat kajian ketimuran separti pusat kajian timur Tengah, Asia Tenggara, Asia Tengah dan Asia Selatan.
Tujuan yang ketiga dapat menghasilkan yang netral atau fair tentang islam sekalipun demi kenetralan imu mereka juga dapat member kesimpilan yang kurang fair tentang Islam. Namun tujuan pertama dan kedua sudah pasti akan menghasilkan penelitian yang miring, bias dan tidak fair tentang Islam demi kepentingan colonial dan ekspansi agama mereka.
E Pro Kontra terhadap Orientalisme
Berbagai macam tanggapan kaum Muslimin terhadap orientalisme. Sebagian mereka ada yang menganggap seluruh orientalis sebagai musuh Islam. Mereka bersikap ekstrim dan menolak seluruh karya orientalis. Bahkan di antara mereka ada yang secra emosional menyatakan bahwa orang Islam yang mempelajaritulisan orientalis termasuk antek Zions[8].
Mereka mempunyai argument bahwa orientalisme bersumber pad aide-ide Kristenisasi yang menurut islam sangat merusak dan bertujuan menyerang banteng pertahanan islam dari dalam. Karena pada Faktanya tidak sdikit karya-karya orientalis yang bertolak belakang dengan islam. H.A.R.Gibb, misalnya, dalam karyanya Mohammedanism berpendapat bahwa al-Quran hanyalah karangan nabi Muhammad; juga dengan menanamkan islam sebagai Mohammedanism, Gibb mencoba menurunkan derajat kesucian agama wahyu ini, padahal ia tahu persis tak ada seorang manusia Muslim pun berpendapat bahwa Islam adalah ciptaan Muhammad SAW[9].
Pandangan yang sepenuhnya negatife dikemukakan oleh Ahmad Abdul Hamid Ghurab mengenai karakter Orientalisme yaitu: pertama, orientalisme adalah suatu kajian yang mempunyai ikatan yang sangat erat dengan kolonialisme Barat; kedua, gerakan yang mempunyai ikatan yang sangat kuat dengan kristeniasi; ketiga, orientalisme merupakan kajian gabungan yang kuat antara kolonialisme dengan gerakan Kristenisasi yang validitas ilmiah dan obyektivitasnya tidak dapat dipertanggung jawabkan secara mutlak khususnya dalam mengutarakan kajian tentang islam; keempat, orientalisme merupakam bentuk kjian yang dianggap paling potensial dalam politik Barat untuk malawan islam[10].
Sebagian lagi bersikap lebih toleran dan mereka terbagi dalam dua kelompok, bersikap sangat berlebihan, artimya semua karya tulis kaum orientalis samgat obyektif dan dapat dipercaya.
Kelompok lain bersikap hati-hati dan kritis; mereka selalu berusaha berpijak pada landasan keilmuan. Menurut mereka, cukup banyak karya tulis kaum orientalis obyektif tentang Islam dan umatnya, karena memang tidak semua karya orientalis bertolak belakang dengan islam melainkan hanya sebagian kecilnya saja.
Maryam Jamilah menyatakan bahwa orientalisme tidak sama sekali buruk. Sejumlah pemikir besar di barat, kata Jamilah, telah menghabiskan umurnya untuk mengkaji Islam lantaran mereka ecara jujur tertarik terhadap kajian-kajian itu. Tanpa usaha mereka, banyak diantara pengethuan berharga dalam buku-buku Islam kuno akan hilang tanpa bekas atau tidak terjamah orang[11]. Para orientalis dari inggris seperti mendiang Reynold Nicholson dan Arthur J. Arberry brhasil menulis karya penting beripa penerjemah karya-karya islam klasik sehingga terjemahan-terjemahan itu untuk pertama kalinya dapat dikaji oleh para pembaca di Eropa.
Pada umumnya para orientalis itu bener-bener menekuni pekerjaan penerjemahan ini. Mereka yang cenderung manbatasi cukupan pengkajiannya hanya pada deskripsi, kadang-kadang berhasil menulis buku-buku yang sangat bermanfaat, informative dan membuka cakrawala pemikiran baru. Persoalan timbul pada saat mereka melangkah terlalu jauh dari batas-batas yang bener dan berusaha menafsirkan Islam dan pristiwa –pristiwa yang terjadi di Dunia Islam berdasarkan pendangan-pandangan pribadi yang tidak cocok.
Yang paling jelek diantara mereka adalah para orientalis yang mencoba memberikan saran kepada kita tentang bagaimana seharusnya kita memecahkan persoalan-persoalan kita dan apa yang seharusnya kita lakukan terhadap agama kita[12]. Kritik tajam, ilmiah dan berdampak pada dunia orientalisme dating dari Edward W Said dalam karyanya Orientalisme. Karya Guru besar Universitas Columbia, New York, ini telah menimbulkan kehebohan da kontroversi di lingkungan dunia akademis Barat yang biasa disebut kaum orientalis.
Menurut Said, orientalisme bukna sekedar wacana akademis tetapi juga memiliki akar-akarpolitis, ekonomis, dan bahkan relijius. Secara politis, penelitian, kajian dan pandangan Barat tentang dunia “oriental” brtujuan umtuk kepentingan politik kolonialisme Eropa untuk menguasai wilayah-wilayah muslim[13]. Dan kolonialisme Eropa tak bias lain berkaitan dengan kepentingan ekonomi dan sekaligus juga kepentingan keagamaan; tegasnya penyebaran Kristen.
Ketiga kepentingan yang saling terkait satu sama lain ini tersimpul dalam slogan yang sangat terkenal tentang ekspansi Eropa ke kaasan dunia Islam, yang mencangkup 3G yakni Glory, Goldand Gospel: “kejayaan, kekayaan ekonomi dan penginjilan.”
Semua motif dan kepentingan orientalisme ini secara implicit juga bersifat rasis. Dan ini tercermin dalam slogan missi “pembudayaan” terhadap duinia timur”yang terbelakang”,jika tidak”primitive”.
Kritik keras Said yang sangat menusuk itu mau tak mau sangat mengguncangkan sendi-sendi kajian Barat terhadap dunia timur. Hasilnya, di kalangan banyak sarjana barat yang biasa disebut orientalis, istilah “orientalisme” menjadi sesuatu yang pejorotif, jika tidak dasgisting[14].
F Beberapa contoh Orientalis
1. H.A.R Gibb
ia meninggal tahun 1971. Duu mengajar di Oxford dan Hardvard. Pendapat-pendapat Gibb mengenai Islam sering diamggap simpatik oleh kalangan sarjana Islam sendiri. Salah satunya pendapatnya yang simpatik adalah ia menyatakan bahwa “islam is indeed much more than a system of theology, it is complete civilization” (islam sesungguhnya lebih dari satu sistem teologi, ia adalah peradaban yang sempurna.
Tetapai menurut pengamatan Amien Rais, Kalau diteliti dalam salah satu bukunya ia mengarahkan pembacaannya supaya yakin baha pad azaman modern prana Islam dalam kehidupan social pasti akan sirna. Secara ringkas argumennya adalah:
Sebagai agama dalam arti sempit, islam hanya kehilangan sedikit kekuatannya. Namun sebagai penentu dalam kehidupan social di zaman modern, islam sedang dicopot dari singgasannya. Dalam kehidupan modern terlalau banyak masalah yang tidak ada sangkut pautnya dengan islam. Dalam hal ini, islam tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali menyerah pada keadaan, dan islam akan ditelan oleh perkembangan zaman[15]. Orang islam yang tertarik pada Gibb ini tentu akan berfikir bahwa sekularisme memang tapat untuk kemajuan Islam.
2. Wilfred Cantwell Smith
Orientalis ini sering juga dianggap simpatik pada Islam. Bukunya Islam in Modern History sangat masyhur termasuk di Negara kita. Setelah kita selesai membaca buku ini penilaian aneh segera timbul karena menurut Smith perkembangan yang paling menggembirakan dalam dunia islam sedang dialami oleh lslam di Dunia dan Turki.
Tatapi bagaimana mungkin bisa mengambil kesimpulan yang begitu achistorical? Islam sedang berbentur-bentur di samudera India, dan sampai sekarang pun tetap jadi minoritas yang keadaannya sangat memprihatinkan, sedangkan ketika buku Smith itu terbit (1957), Islam di Turki sdang bergulat dengan sisa-sisa Sekularisme Attaturk yang mengakibatkan luka-lika terlalu dalam.
3. Montgomery Watt
Selain di pandang lembut dan simpatik pada islam, Wtt dinilai juga sebagai sangat teliti dan hati-hati dalam mempelajari sumber-sumber Islam. Walaupun demikian kita memperoleh sebuah “nasehat” yang “bagus” dalam bab terakhir bukunya Islam and the Integration of Society. Setelah memaparkan analisisnya, Watt cukup bebrbesar jiwa mau mengakui bahwa Islam bisa memiliki peranan besar didunia ini pada masa mendatang. Namun cepat ia menambahkan bahwa Islam “harus bersdia mengakui asal-usulnya”. Apa yang ia maksud? Tidak lebih dari pada pencampurbauran unsure-unsur perjanjian Lama, Logika selanjutnya adalah umat islam supaya mau melepaskan al-Qur’an kalau ingin memiliki di masa mandating.
Karya-karya Watt tentang Islam terhitun banyak. Kebanyakan kijiannya adalah tentang sejarah Islam. Karya-karyanya antara lain adalah: Muhammad at Mecca, Muhammad at Medina, The Majesty That Was Islam, History of Islamic Spains, The Influence of Islam in Medieval Europe. Dalam karya yang disebut terakhir, ia dengan meyakinkan menegaskan jasa besar Islam di biang ilmu pengetahuan yang kemudian diadopsi oleh orang-orang Eropa.
4. Gustave von Grunebaum
Menurut Amien Rais, tokoh ini tidak pernah menyembunyikan kebenciannya terhadap Islam. Di antara buku-bukunya yang mancaci-maki Islam adalah Modern Islam : The Search For Cultural Identity. Dalam buku ini antara lain ia menyataka bahwa peredaban islam tidak memiliki aspirasi-aspirasi primer seperi peradaban lainnya. Cirri peradaban Islam adalah antikemanusiaan. Selai itu, Islam tidak punya etik formatif dan kekurangan kesegaraan ontelektual. Kaun muslim tidak bisa maju, tidak ilmiah, tidak bisa obyektif, tidak kreatif, dan otorier. Islam ditangan von Grunebaum adalah islam yang direduksi dan ditempeli sifat-sifat negative yang bisa dikhayalkan oleh Grunebaum. Kebencinnya juga dituangkan dalam bukunya Medieval Islam.
G. Studi Islam para Orientalis
Studi yang dilakukan para orientalis berangkat dari pradigma berfikir bahwa islam agama islam yang bisa siteliti deri sudut mana saja dan dengan kebebasan sedemikian rupa. Tidak mengherankan kalau mereka begitu bebasnya menilai, mengritik bahkan melucuti ajaran-ajaran dasar islam yang bagi kaum Muslim tabu unuk dopermasalahkan.
Studi yang meeka lakukan meliputi seluruh aspek ajaran islam seperti sejarah, hukum, teologi, quran, hadist, tasauf, bahasa, politik, kebuyaan dan pemikiran. Di antara mereka ada yang mengkaji islam meliputi seluruh aspek tadi, ada juga yang hanya meneliti satu aspek saja. Philiph K Hiti, HAR Gibb, dan Montgomery Joseph Schact pada kajian hukum Islm, David Power pada kajian Quran, dan A J Arberry pada aspek tasauf.
Sebagai contoh Dvid Power pernah meneliti sedalam-dalamnya ayat-ayat al-Qur’an sehingga memunculkan kesimpulan Quran tidak sempurna antara lain karena tidak adil membagi waris antara laki-laki dan perempuan. Josep Schacht kesimpulan bahwa hadis tidak layak menjadi sumber hukum Islam.
H. Orientalis dan Islamisis
Akhir-akhir ini pengkajian islam oleh oaring-orang bukan islam terus dilakukan bahkan makin intensif. Pengkajian itu masih didominasi oleh para pemikir barat. Hanya kalau dahulu para peneliti islam disebut orientalis maka sekarang mereka tidak suka disebut orintalis. Sebutan yang mereka lebih sukai adalah Islamis
Menurut Azyumardi Azra kecenderungan mereka tidak ingin disebut orientalis muncul setelah kritik tajam Edward W. Said dalam bukunya Orientalisme[16]. Dalam buku ini Said mengungkapkan secara tajam bias intelektual Barat terhadap dunia Timur (oriental) umumnya, dan islam serta dunia Muslim khususnya. Dengan tegar dia mengemukakan gugatan bahwa Barat bertanggung jawab membentuk persepsi yang keliru tentang dunia yang ingin mereka “jelaskan”.
Perbandingan paradigm Orientalis dan Islamisis
Memang terdapat perbedaan antara keduanya. Orientalis lebih kental nuansa politis dan tendensi kecurigaannya terhadap Islam. Islamisis tampak lebih bersahabat. Kajiannya bersifat ilmiah, dari pada penyelidikan demi kepentingan imperealisme. Nama-nama Islamisis yang produktif saat ini adalah John L. Esposito, karena Armstrong, Martin Lings, Annemarie, John O. Voll, Ira M. Lpidus, Mrshal GS Hodgson, Leonard BINDER DAN Charles Kurtzman. Di antara mereka ada yang kemudian masuk Islam seperti Annemarie Svhimmel
Esposito amat produktif menulis kajian Islam. Di antara bukunya adalah: Voices of Resurgent Islam, Ensiklopedi Dunia Islam Modern, sejarah peradaban Islam, Islam politik, dan Ancaman islam Mitos atau Realitas. Kjiannya berusaha mengungkapkan fakta seobyaktif mungkin, nyaris tanpa komentar yang miring kecenderung mencari kelemahan-kelemahan islam dan umatnya seperti yang dilakukan para orientalis tampaknya tidak menonjol. Bahkan kekayaan data fakta menjadi cirri mereka dalam mengkaji islam. Marshal Hodgson baru peradaban islam lewat analisis-analisinya yang meltiaspek.
Azyumardi Azra memuji karya Hodgson sebagai “contoh yang sangat baik tentang penulisan sejarah islam setelah perang dunia II”[17] dan karya Lpidus sebagai “karya paling lengkap dan kompehensif tentang sejarah masyarakat-masyarakat Muslim”[18]
Catatan
- Edward W Said, Orientalisme, Trej. Asep Hikmat, Bandung: pustaka Slman,1996
- M. Amien Rais, Cakrawala Islam, Bandung: Mizan, 1986, hlm.
- Ibid., hlm. 234.
- Said, orientalisme, hlm.143-144.
- Ibid., hlm. 143.
- Ibid.,hlm. 16.
- Untuk melihat lebih jelas peran Hurgronje lihat Hamid Algadri, Snouck Hurgronye, polotik Belanda terhadap islam dan keurunan Belanda, Jakarta: penerbit Sinar Harapan, 1984. Dan Aqib Sumino, politik Islam Snouck Hurgronye, Jakarta: LP3ES.
- Qasim Al-samurai, bukti-bikti kebohongan Orientalis, Jakarta: Gema Insani Press, 1996, hlm. 1.
- Rais, Cakrawala,hlm. 241.
- Ahmad Abdul Hamid Ghurab, menyingkap Tabur Orientalisme, Jakarta: pustaka al-Kautsar, 1993, hlm. 21.
- Maryam Jamilah, islam dan Orientaisme, sebuah Kjian Analitik. Terj. Mchnum Husein, Jakarta: Rajawalipers, 1994.hlm. 11.
- Ibid
- Said, Orientalisme, hlm. 16.
- Azra, Historiografi, hlm. 187.
- HAR Gibb, Whiter Islam, hlm. 335 sebagaimana dikutup Amien Rais dalam Cakrawala, hlm. 240.
- Azra, Historigrafi, hlm. 187.
- Ibid., hlm. 68.
- Ibid., hlm 65.