Senin, 14/11, Centre For Advanced Studies on Islam, Science, and Civilization (CASIS) Universitas Teknologi Malaysia, bekerjasama dengan INSISTS menggelar seminar sehari bertajuk “Sejarah dan Peranan Islam Dalam Pembangunan dan Kesatuan Bangsa.” Bertempat di Hotel Gren Alia Jakarta, seminar membahas sumbangsih Islam dalam Peradaban Melayu dengan menghadirkan sejumlah pembicara.
Acara ini sendiri bertujuan membangun kesadaran sejarah kaum muslim di Nusantara bahwa mereka memiliki ikatan kokoh yang didasari Islam. Apapun suku dan kebangsaannya.
Dalam Kata Pengantarnya, Prof. Wan MohdNor Wan Daud membeberkan perbedaan antara peradaban Hindu dengan Islam. “Islam memang tidak memiliki peninggalan seperti Candi Borobudur di Indonesia dan Angkorwat di Kamboja. Karena Islam tidak mengenal sebuah peradaban seperti Patung dan Arca. Namun Islam mengangkat derajat akhlak manusia menjadi baik dan beradab,” ujarnya selaku Direktur CASIS.
Sayangnya kata Prof Wan, banyak para Orientalis membesar-besarkan masalah ini. Kehadiran Candi dan Patung diekspos sedemikian rupa untuk meminggirkan peran Islam. Padahal Islam memang tidakmenjadikan materi sebagai tujuan. Islam datang ke Nusantara dalam rangka merubah worldview hingga menghasilkan budaya Ilmu yang lebih substantif dari sekedar sebuah patung.
“Kita tidak melihat Islam dari sudut materi. Kita memang butuh masjid yang bagus dan bersih, tapi itu bukan tujuan. Karena tujuan utama adalah keilmuan dan ukhuwah yang terjalin,” tandasnya dengan logat Melayu yang masih cukup kental.
Maka itu tak heran, dalam sejarahnya Islam adalah satu-satunya agama paling berpengaruh di tanah Melayu. Islam berhasil menyatukan seluruh wilayah Nusantara yang sebelumnya tidak dapat dilakukan oleh kerajaan Hindu seperti Majapahit.
“Dari Sabang sampai Merauke, dari Serawak hingga Mindanao semua daearah Melayu berhasil disatukan oleh Islam. Ini sebuah pencapaian besar,” sambungnya.
Pendapat Prof Wan turut diamini oleh Prof Didin Saefuddin Buchori. dosen sekaligus Asisten Direktur Pascasarjana Universitas Ibn khaldun ini mengkritik para pakar sejarah yang selalu menisbatkan Majapahit sebagai kerajaan terkuat di wilayah Nusantara.
“Ironisnya tidak semua wilayah yang dikuasai Majapahit. Banyak kerajaan tidak mau tunduk kepada Majapahit untuk membayar upeti. Bahkan Majapahit diberontak oleh keluarganya sendiri,” terangnya panjang lebar di hadapan sekitar 70 peserta yang hadir dari perwakilan perwakilan pemikir-pemikir islam.
Menurut Dr. Adian Husaini, cendekiawan Islam sebenarnya sudah lama mengkritisi rekayasa penonjolan Hinduisme dan pengecilan Islam. BuyaHamka, misalnya, dalam Tafsir Al Azhar beliau sudah menulis bahwa bangsa Indonesia selama ini dididik untuk menjauhkan Indonesia dengan Islam. Akhirnya tak jarang bangsa Indonesia digiring untuk lebih mencintai Gajah Mada dan Raden Patah.
Melengkapi pernyataan Buya Hamka, Adian Husaini juga mengutip pakar Sejarah Melayu, Prof Naquib Al Attas. Dalambukunya “Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu,” ulama kelahiran Bogor itu mencontohkan bagaimana tulisan-tulisan Snouck Hugronje selama ini banyak mengecilkan peranan Islam dalam sejarah kepulauan ini dan pengaruh itu masih berlaku hingga kini.
Selain nama-nama diatas, seminari ni juga diisi oleh Dr. Khalif Muammar (CASIS), Prof Muhammad Zaini (Guru Besar CASIS),Tiar Anwar Bachtiar M.Hum (Kandidat Doktor UI), Muh Isa Anshory M.Pd.I (PSPI), Arif Wibowo M.Pd.I (PSPI), dan Susiyanto M.Pd.I (PSPI).
Mereka membawakan tema silih berganti dari mulai peranan ulama di Nusantara, Sunda dan Islam, mencari wujud kebudayaan Jawa, deIslamisasi dalam budaya Jawa, kolonialisme dalam misi Kristen di Indonesia, dan lain sebagainya.
Acara ini sendiri bertujuan membangun kesadaran sejarah kaum muslim di Nusantara bahwa mereka memiliki ikatan kokoh yang didasari Islam. Apapun suku dan kebangsaannya.
Dalam Kata Pengantarnya, Prof. Wan MohdNor Wan Daud membeberkan perbedaan antara peradaban Hindu dengan Islam. “Islam memang tidak memiliki peninggalan seperti Candi Borobudur di Indonesia dan Angkorwat di Kamboja. Karena Islam tidak mengenal sebuah peradaban seperti Patung dan Arca. Namun Islam mengangkat derajat akhlak manusia menjadi baik dan beradab,” ujarnya selaku Direktur CASIS.
Sayangnya kata Prof Wan, banyak para Orientalis membesar-besarkan masalah ini. Kehadiran Candi dan Patung diekspos sedemikian rupa untuk meminggirkan peran Islam. Padahal Islam memang tidakmenjadikan materi sebagai tujuan. Islam datang ke Nusantara dalam rangka merubah worldview hingga menghasilkan budaya Ilmu yang lebih substantif dari sekedar sebuah patung.
“Kita tidak melihat Islam dari sudut materi. Kita memang butuh masjid yang bagus dan bersih, tapi itu bukan tujuan. Karena tujuan utama adalah keilmuan dan ukhuwah yang terjalin,” tandasnya dengan logat Melayu yang masih cukup kental.
Maka itu tak heran, dalam sejarahnya Islam adalah satu-satunya agama paling berpengaruh di tanah Melayu. Islam berhasil menyatukan seluruh wilayah Nusantara yang sebelumnya tidak dapat dilakukan oleh kerajaan Hindu seperti Majapahit.
“Dari Sabang sampai Merauke, dari Serawak hingga Mindanao semua daearah Melayu berhasil disatukan oleh Islam. Ini sebuah pencapaian besar,” sambungnya.
Pendapat Prof Wan turut diamini oleh Prof Didin Saefuddin Buchori. dosen sekaligus Asisten Direktur Pascasarjana Universitas Ibn khaldun ini mengkritik para pakar sejarah yang selalu menisbatkan Majapahit sebagai kerajaan terkuat di wilayah Nusantara.
“Ironisnya tidak semua wilayah yang dikuasai Majapahit. Banyak kerajaan tidak mau tunduk kepada Majapahit untuk membayar upeti. Bahkan Majapahit diberontak oleh keluarganya sendiri,” terangnya panjang lebar di hadapan sekitar 70 peserta yang hadir dari perwakilan perwakilan pemikir-pemikir islam.
Menurut Dr. Adian Husaini, cendekiawan Islam sebenarnya sudah lama mengkritisi rekayasa penonjolan Hinduisme dan pengecilan Islam. BuyaHamka, misalnya, dalam Tafsir Al Azhar beliau sudah menulis bahwa bangsa Indonesia selama ini dididik untuk menjauhkan Indonesia dengan Islam. Akhirnya tak jarang bangsa Indonesia digiring untuk lebih mencintai Gajah Mada dan Raden Patah.
Melengkapi pernyataan Buya Hamka, Adian Husaini juga mengutip pakar Sejarah Melayu, Prof Naquib Al Attas. Dalambukunya “Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu,” ulama kelahiran Bogor itu mencontohkan bagaimana tulisan-tulisan Snouck Hugronje selama ini banyak mengecilkan peranan Islam dalam sejarah kepulauan ini dan pengaruh itu masih berlaku hingga kini.
Selain nama-nama diatas, seminari ni juga diisi oleh Dr. Khalif Muammar (CASIS), Prof Muhammad Zaini (Guru Besar CASIS),Tiar Anwar Bachtiar M.Hum (Kandidat Doktor UI), Muh Isa Anshory M.Pd.I (PSPI), Arif Wibowo M.Pd.I (PSPI), dan Susiyanto M.Pd.I (PSPI).
Mereka membawakan tema silih berganti dari mulai peranan ulama di Nusantara, Sunda dan Islam, mencari wujud kebudayaan Jawa, deIslamisasi dalam budaya Jawa, kolonialisme dalam misi Kristen di Indonesia, dan lain sebagainya.