FILM tampaknya menjadi salah satu karya yang tidak akan pernah ditinggalkan oleh pecintanya. Karakter audio-visual yang dimiliki film, membuat buku cerita atau novel kemudian banyak diangkat ke layar lebar.
Sebut saja fi lm Laskar Pelangi, 5 cm, Kata Hati The Movie, MIKA, Bangun Lagi Dong Lupus, 9 Summer 10 Autumns, dan yang baru-baru ini rilis Cinta Brontosaurus. Sutradara fi lm pendek, Fitria Napiz, menilai fi lm yang diadaptasi dari buku atau novel bukanlah hal baru. “Sudah dari tahun-tahun sebelumnya, banyak buku yang kemudian diangkat ke layar lebar. Eiff el I’m in Love, misalnya. Menurut saya, kedua karya seni ini saling mendukung karena tidak dapat dipungkiri kedua industri baik publishing maupun fi lm bisa saling meningkatkan penjualan,” kata dia. Fitria menambahkan, banyak buku atau novel yang penjualannnya meningkat saat sudah digarap.
Begitupun sebaliknya, pembaca setia novel juga banyak yang penasaran bagaimana jika novel favorit mereka difi lmkan. Tentunya mereka tertarik untuk membeli tiket nonton di bioskop. “Keduanya saling enguntungkan,” jelasnya.
Perkembangan film yang pesat membuat sutradara-sutradara andal berlomba menghasilkan karya fi lm yang mampu mengundang ribuan bahkan jutaan penonton. Buku cerita yang tadinya hanya dapat dibaca, kemudian diaplikasikan ke dalam bentuk cerita hidup. Tokoh dalam buku tersebut dapat dilihat secara visual dan didukung pula dengan audio. Bagi para pembuatnya, fi lm menjadi media yang representatif atas ideide kreatif mereka.
Adanya fi lm yang diangkat dari sebuah karya sastra, tulisan tentunya menjadi perbedaan tersendiri. Dilihat dari segi penuangan cerita dan penggambaran imajinasi yang membuat movie maker -sebutan pembuat fi lm- tertantang. Media yang berbeda, menjadikan movie maker tertantang untuk menggunakan kreativitasnya agar fi lm yang digarap sesuai dengan imajinasi penonton.
Dan tentunya dapat ‘memuaskan’ para pecinta novel yang diadaptasikan tersebut. Fitria menambahkan, buku dan film adalah dua karya seni yang berbeda. Novel, lanjutnya, sebuah karya sastra sedangkan fi lm adalah karya team work. Dua media yang berbeda tentunya akan berbeda pula
penyajiannya. Perbedaan yang dirasakan saat membaca buku dan menonton fi lm sangatlah jelas, sebab semua orang memiliki imajinasi yang berbeda. “Begitu pula antara sutradara dan penonton. Ingat, fi lm adalah karya fi lm maker, bukan penulisnya. Jadi, kita harus paham hal itu sehingga kekecewaan yang sering kita rasakan saat fi lm adaptasi tidak sepenuhnya seperti yang kita bayangkan dari novelnya tidak kita rasakan,” tutupnya.()