Hi, I'm Azies welcome to my space. This is a documentation of stories and experiences of my life.

12 Mei, 2013

Cerpen: Gadis Penjaja Payung


Oleh : Heni Ayaka Hamasah

Hujan yang turun dengan derasnya, tidak membuat stasiun disore itu sepi akan orang-orang yang lalu-lalang. Terlihat segerombolan orang berseragam kantoran dengan menjinjing tas keluar dari pintu gerbong kereta, diikuti anak sekolah dengan seragam putih abu-abu, yang terlihat masih asik bersenda gurau dengan teman-temannya di dalam gerbong kereta, sembil berdesakan keluar gerbong.

Tampak pula dari jendela gerbong, laki-laki paruh baya yang sedang berdiri di belakang gerombolan anak-anak sekolah, laki-laki dengan gaya khasnya, yang menggunakan kemeja lengan panjang ala tempo dulu lengkap dengan celana bahannya—terlihat sangat sabar menunggu antrian.

Di luar gerbong kereta, terlihat aktifitas para pedagang yang sangat ramai, dagangan yang di jajakan sangat beraneka ragam, berjajar rapih di kios-kios yang telah disediakan PT. Kereta Api Indonesia (KAI).

Tampak pula di pelataran gerbang stasiun,  anak-anak penjaja payung yang sedang asik menjajakan payung di tengah-tengah derasnya guyuran hujan. Mereka terlihat begitu riang, seakan telah bersahabat dengan hujan, terutama bagi ku, walau petir terus bergemuruh menyambar di langit yang mulai menghitam, namun tidak menyurutkan langkah kaki kecilku untuk terus menjajakan payung.
________***_______

Aku Zahra berusia 7 tahun. Aku memiliki paras wajah bulat dengan mata sipit, serta lesung pipi yang menghiasi pipi chubby-ku. Aku adalah salah satu gadis penjaja payung di stasiun ini, kulakukan pekerjaan ini tak lain untuk membantu Ibu mencari uang dan guna meraih cita-cita menjadi wartawan. Seperti biasanya, setiap pulang sekolah, aku selalu pergi ke stasiun untuk menjajakan payung. Dengan riang aku melangkahkan kaki menuju stasiun Bogor. 

Genangan-genangan air di sekitar jalan Merdeka, sudah mulai nampak, lobang-lobang yang disebabkan karena kerusakan jalan telah dipenuhi dengan air hujan. Mulai nampak beberapa penjaja payung berdatangan. Tubuh kecilku berlari-lari tak mau kalah dengan penjaja payung lainnya, aku menghampiri orang-orang yang turun dari kereta, berusaha menjajakan payung, diantara orang-orang yang hilir mudik sili berganti di stasiun.

“Pak payungnya pak? ”
“Berapa harga sewanya,” Tanya bapak bertubuh besar tinggi.
“Dua ribu aja pak, mau ya pak, ? Nanti aku antar deh pak sampai tempat yang bapak mau” Rayuku sambil mengikuti langkahnya.
“Dua ribu ? mahal. Gak ah, enggak jadi”
“Terus berapa Pak maunya? Kan biasanya segitu pak,” Aku berusaha mengikuti langkahya yang cepat di tengah hujan yang turun dengan deras.
“Gak, saya enggak mau, udah sana pergi !“ Bentaknya sambil mendorong tubuhku kearah belakang.
Aku pun tersungkur ke dalam kobangan tanah yang berbatu. Rasa sakit pun tak terelakan terutama dibagian kepalaku, aku merintih kesakitan. Bapak itu lantas pergi bigitu saja meninggalkanku. Aku meringis kesakitan, saat perlahan mulai ku pegang dahiku, kudapati darah segar yang merembas, mengslir membasahi telapak tanganku.
Hari semakin sore, namun luka di dahiku masih terus mengeluarkan darah, aku terus menangis di pinggir stasiun.
“Zahra kamu kenapa ?“ Tanya Kak. Aina yg tiba-tiba sudah berada di depanku.
“Kak. Aina,“ Aku memeluk mahasiswa jurnalistik itu dan menceritakan apa yang terjadi.
“Astagfirullah. Ayo kita ke Rumah Sakit ya sayang, luka kamu harus segera diobati,” 
Kak. Aina yang sudah menganggapku sebagai adiknya dengan sigap membawaku ke Rumah Sakit lantas mengantarku pulang ke rumah. Rumahku terletak tidak begitu jauh dari stasiun, hanya membutuhkan waktu 15 menit jika ditempuh dengan berjalan kaki.
___***___
Di hari minggu ini Bogor telah diguyur hujan turun sedari pagi, membuatku enggan berdiam diri di rumah. Ketika telah merasa lebih baik aku pun bergegas ke stasiun untuk menjaja payung. Ibu telah berangkat selepas shalat subuh untuk menjual nasi timbel.
Benar saja baru beberapa jam menjajakan payung dan hasilnya sudah ada sepuluh orang yang menyewa payungku, aku mengucap syukur dan membayangkan uang di saku celenganku.
Sudah berapa banyak ya uang yang ada di celenganku ? hmm apa sudah berjuta-juta ya? Kalau sudah banyak pasti nanti cukup buat biaya aku kuliah, nanti aku pakai baju toga terus di belakang namaku ada bergelar sarjana jurnalistik. Asik… nanti aku jadi wartawan terus aku akan meliput banyak berita, masuk TV, terus punya banyak uang, bisa ajak Ibu jalah-jalan deh. Huuaaah semoga uang ini bisa menambahkan lagi jumlah yang ada.

“Zahra”
Suara seorang laki-laki paruh baya itu membuyarkan lamunanku, dia sangat tergesa-gesa datang menghampiriku dan mengatakan bahwa Ibuku saat ini sedang berada di Rumah Sakit. Aku sangat terkejut mendengar kabar itu, aku lantas pergi ke Rumah Sakit tempat Ibu dirawat.
Di depan ruang UGD rumah sakit, aku tak bisa berhenti manangis. Tubuhnya yang terpental cukup jauh setelah sepeda sebuah motor menabraknya, mengakibatkan Ibu koma. Aku yang sedari tadi berdiri di depan UGD bertambah bingung setelah tahu biaya yang harus aku keluarkan, karena penabrak melarikan diri. Aku tak tahu dari mana aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu. Namun aku sadar aku tidak boleh putus asa, aku percaya selalu ada jalan dari setiap masalah.
Berminggu-minggu telah ku kumpulkan uang, namun semua itu tidaklah cukup untuk membayar pengobatan Ibu di Rumah Sakit. Hanya tersisa pilihan untuk membobol semua tabunganku. Hatiku sangat bimbang apa ini satu-satunya yang dapat melunasi semua biaya Rumah Sakit, uang ini telah ku kumpulkan selama 3 tahun, ya Allah apa tidak ada jalan lain? Kalau uang ini aku pakai, pupuslah sudah harapanku menjadi seorang sarjana jurnalistik. Aku masih dalam kebingungan, kucoba bersujud pada-Nya berdoa mengharap petunjuk terbaik-Nya. Saat itu ketika aku menundukan kepala wajah ibu terlintas dalam benakku.

Tidak ada pilihan lain, ya mungkin uang yang telah ku kumpulkan selama tiga tahun ini harus aku keluarkan untuk membayar pembiayaan Rumah sakit ibu. Aku harus ikhlas demi kesembuhan Ibu.

____***___

Disisi lain, Aina masih terus mencari keberadaan Zahra. Dia yang diam-diam menjadikan Zahra sebagai objek liputannya ingin segera menyampaikan kabar gembira ini pada gadis kecil itu, keyakinannya terwujut. Kisah inspirasi Zahra berhasil mendapatkan peringkat pertama lomba liputan kisah inspirasi 2012 yang diadakan salah satu perusahaan yang bergerak di bidang jurnalistik, yang bekerjasama dengan salah satu Universitas Negeri di Jakarta. Dengan paket hadiah uang tunai dan beasiswa untuk tokoh dalan ceritanya.

Di hari ke tujuh pencarian, Aina kembali mencari Zahra, dia menanyakan pada para pedagang dan pengamen yang ada di stasiun, namun tidak ada seorang pun yang tahu. Hingga datang seorang bapak paruh baya, yang menuturkan bahwa Ibu Zahra masuk Rumah sakit dan koma. Aina pun segera mencari Rumah Sakit tempat Ibu Zahra dirawat.

Sampailah Aina di depan ruang rawat. Dimana di dalam ruangan ada sesosok gadis kecil dengan mukena putih, yang sedang melantunkan ayat-ayat Al-Quran di samping seorang Ibu, yang sedang terbaring di ranjang Rumah Sakit. Gadis kecil yang benar-benar menginspirasinya. Sifatnya yang santun, penuh semangat, pantang menyerah, keuletannya dalam bekerja, serta ketekunannya dalam Agama. Aina masih berdiri mematung di pintu ruang rawat kelas tiga itu, tanpa ia sadari air mata mengalir membasahi pipinya. Aina pun segera menghampiri Zahra lantas memeluknya erat, kemudian dengan penuh rasa syukur Aina menjelaskan semuanya pada Zahra juga Ibunya.

Mendengar semua itu, Ibu Zahra yang sudah sadarkan diri sangat terharu bahagia, senyum mengembang di pipi Ibu yang masih terlihat sangat lemah itu. Zahra masih terpaku dengan penjelasan Aina, air matanya seketika  tumpah. Akhirnya perjuangannya menjajakan payung tidak sia-sia, uangnya yang telah dikumpulkan selama tiga tahun, yang telah habis dipakai untuk membayar biaya Rumah Sakit, kini telah tergantikan dengan uang hasil hadiah yang diberikan Aina. Secercah sinar harapan pun semakin jelas nampak, mimpinya untuk menjadi seorang sarjana jurnalistik kini ada di depan mata, diantara hujan dan payungnya.

adds