Hi, I'm Azies welcome to my space. This is a documentation of stories and experiences of my life.

16 Juli, 2010

Pembayaran Zakat dan Pajak

Ada beberapa alasan keharusan kaum muslimin menunaikan kewajiban pajak yang ditetapkan negara, di samping penunaian kewajiban zakat, antara lain dinyatakan dalam surat Al-Baqarah ayat 177.
Pertama, Imam Al-Qurthubi ketika menafsirkan ayat ini mengemukakan bahwa para ulama telah sepakat, jika kaum muslimin - walaupun sudah menunaikan zakat - memiliki berbagai kebutuhan dan keperluan yang harus ditanggulangi, maka wajib mengeluarkan harta untuk keperluan tersebut. Terkait dengan ayat ini, Imam Al-Qurthubi juga mengemukakan sebuah hadits riwayat Imam Daruquthni dari Fathimah binti Qayis, Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya dalam harta ada kewajiban lain, diluar zakat”. Hadits ini dikemukakan pula dalam Jaami’ at-Turmudzi dengan redaksi yang berbunyi bahwasanya Fathimah binti Qayis berkata: “Nabi Saw. ditanya tentang zakat, beliau bersabda: “Sesungguhnya dalam harta itu ada kewajiban lain di luar zakat”, kemudian Nabi Saw. membaca ayat Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 177”.
Kedua, perintah dari ulil amri (pemerintah) wajib ditaati selama mereka menyuruh pada kebaikan dan ketaatan serta kemaslahatan bersama, sebagaimana dijelaskan dalam QS. An-Nisa’ ayat 59. Tetapi apabila dana pajak dipergunakan untuk hal-hal yang secara diametral bertentangan dengan nilai-nilai Islam, dan bertentangan pula dengan kemaslahatan bersama, maka tidak ada alasan bagi umat Islam untuk membayar pajak. Muhammad Ali Ash-Shabuni ketika menafsirkan ayat tersebut menyatakan bahwa keta’atan kepada penguasa jika mereka adalah kaum muslimin yang berpegang teguh pada syari'at Islam, dan tidak ada keta’atan kepada makhluq jika bermaksiat kepad Khaliq (Allah SWT).
Ketiga, solidaritas sosial dan tolong-menolong antara sesama antara sesama kaum muslimin dan sesama umat manusia dalam kebaikan dan taqwa merupakan kewajiban yang harus dipenuhi, sebagaimana dinyatakan dalam QS. Al-Maidah ayat 2.
Keempat, kaidah-kaidah umum hukum syara’. Yusuf Qardhawi menyatakan bahwa dalam menetapkan suatu kewajiban atau menetapkan suatu fatwa, di samping berlandaskan pada nash-nash yang terdapat dalam Al-Qur’an dan hadits Nabi, yang dilandaskan pada kaidah-kaidah dan prinsip umum hukum syara’. Dari kaidah-kaidah tersebut timbul berbagai istilah seperti memelihara kepentingan umum, menolak bahaya didahulukan atas manfaat dari dua hal yang sama-sama bermanfaat, memilih sesuatu yang bahayanya lebih kecil dari dua hal atau dua keadaan yang sama-sama berbahaya. Imam Al-Ghazali (w. 505 H), seorang ulama yang menurut Yusuf Qardhawi jarang mempergunakan kaidah al-Mashalih al-Mursalah ‘kemaslahatan bersama yang disepakati’ menyatakan bahwa jika negara sangat membutuhkan dan untuk kepentingan militer atau pertahanan dan keamanan, karena khawatir adanya gangguan dan serangan dari musuh, maka boleh saja negara mengambil pajak dari orang-orang kaya untuk menutupi keperluan tersebut. Sementara itu menurut madzhab Malikim, bahwa berdasarkan prinsip al-Mashalih al-Mursalah jiwa sewaktu-waktu Baitul Maal mengalami defisit, sedang (anggaran negara) tidak mempu membiayainya, maka pada saat itu pemerintah boleh memungut secara teratur dari orang-orang kaya, harta secukupnya, sampai Baitul Maal terisi kembali, atau dapat mencukupi.
Menurut madzhab Maliki, pemerintah yang adil hendaklah melaksanakan pungutan ini secara teratur pada musim panen atau saat mengetam buah-buahan, hingga tidak menyulitkan orang-orang kaya, dan hati mereka pun tetap merasa lega.
Atas dasar itu semua, adalah sah-sah saja adanya dua kewajiban bagi kaum muslimin (terutama kaum muslimin di Indonesia), yaitu kewajiban menunaikan zakat dan pajak secara sekaligus. Hanya saja seperti dikemukakan dalam Undang-undang Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat bab IV Pasal 14 ayat (3) bahwa zakat yang telah dibayarkan kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat dikurangkan dari laba/pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam Undang-undang Nomor 17 tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, pada pasal (9) ayat (1) dikemukakan bahwa untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak, bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha, tetap tidak boleh dikurangkan: (g). harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud pada pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh wajib zakat orang pribadi pemeluk agama Islam dan atau wajib pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat yang dibentuk dan disahkan oleh pemerintah.
Kedua undang-undang tersebut merupakan upaya maksimal (setidak-tidaknya untuk saat ini) untuk mengakomodasi keinginan kaum muslimin (khususnya di Indonesia) agar pembayaran zakat didahulukan daripada pajak, sekaligus zakat tersebut dapat mengurangi biaya pembayaran pajak.
Dalam upaya amandemen undang-undang tentang pengelolaan zakat (UU 38/1999) diharapkan perubahan beberapa hal:
1. Zakat sebagai pengurang pajak secara langsung.
2. Adanya sangsi bagi orang yang tidak mau berzakat, padahal sudah terkena kewajiban.
3. Restrukturisasi organisasi pengelolaan zakat, agar lebih terkoordinasi dengan baik.
***

Oleh Prof. DR. KH. Didin Hafidhuddin

adds