kyai Nur Ali, Sholeh Iskandar dan M. Natsir |
Rute menuju lokasi cukup berliku. Jalan menanjak,
lengkap dengan bebatuan terjal harus dilalui. Hujan lebat yang mengguyur Bogor
pangkal Februari 2013, menambah berat tantangan Alhikmah memburu saksi sejarah
di lokasi itu. Meski tentu tak seberat perjalanan heroik sang Mujahid merebut
kemerdekaan dari tangan penjajah.
Tiba di lokasi, kelelahan yang mendera seketika
sirna. Indah nian alam kampung Pasarean, Cinangneng- Ciampea, Bogor, lokasi
Pesantren Darul Fallah bersemayam. Pesantren yang turut menjadi saksi sejarah
perjuangan KH Sholeh Iskandar.
Melompat ke masa silam, saat kampung ini hanyalah
tanah basah dengan hutan lebat, tak terurus. Dengan tangan emas KH Sholeh
Iskandar, berdirilah pesantren Darul Fallah, dan kampung Pasarean, kampung
modern tahun 1960. “Saat itu, bapak menjadi ketua Yayasan Darul Fallah
pertama,” kata kepala Pondok Pesantren Darul Fallah cum putra pertama sang
Kiai, Ustadz Emri Farizi, kepada Alhikmah.
Sosok KH Sholeh Iskandar, memang tak asing lagi
ditelinga warga Bogor. Namanya diabadikan menjadi nama jalan protokol, tempat
sebuah kampus Islam tegak berdiri, Universitas Ibnu Khaldun (UIKA), Bogor.
Kampus yang ia dirikan sekaligus ia pimpin untuk pertama kalinya.
Ulama Pejuang Kemerdekaan
Mental tentara Belanda drop. Bogor yang sudah digempur berkali-kali, tak juga jatuh ke tangan mereka. Salah seorang pejuang muda bernama Sholeh Iskandar dengan gigih mempertahankannya. Saat itu dia adalah komandan tertinggi Hizbullah wilayah Bogor Barat.
Alih-alih penjajah Belanda ingin menguasai Bogor,
yang ada malah mereka tunggang langgang, berlari ketakutan. Kemampuan dan
kehandalannya mengorganisir pertahanan bersama pasukannya untuk mempertahankan
setiap jengkal tanah Bogor dari invasi Belanda dan pasukan sekutu diakui
sendiri oleh pemerintah Belanda. Para komandan perang Belanda mengakui bahwa
Sholeh Iskandar adalah salah satu ahli strategi perang gerilya yang dimiliki
Indonesia di masa perang merebut dan mempertahankan kemerdekaan.
“Kepemimpinan Bapak dimulai dari disiplin militer
dalam pertempuran.Sebagai seorang Komandan Batalyon O (Hizbullah) di wilayah
Bogor Barat. Batalyon dikenal sebagai pasukan yang ditakuti Belanda. Selain
dari cerita turun temurun para saksi sejarah, ihwal fakta bahwa batalyon O
begitu ditakuti Belanda didapat secara tidak sengaja ketika RM Oentoro
Koesmardjo, sekretaris dan orang terdekatnya di Yayasan Pendidikan Islam Ibn
Khaldun Bogor, ditugaskan ke negeri Belanda. Di perpustakaan Universitas
Leiden, Belanda, ia temukan sebuah majalah lama.
“Dalam majalah itu ada ulasan mengenai Sholeh
Iskandar sebagai pimpinan pasukan yang sangat ditakuti tentara Belanda di masa
revolusi.Sering konvoi tentara Belanda mendapat serangan mendadak sehingga
perbekalan, bahkan senjata yang dibawa serta konvoi itu beralih ketangan
pasukan Batalyon O,” kata Ustadz Emri Farizi, mengenang.
Sepenggal waktu berlalu, kemerdekaan berhasil
direbut. Soekarno memegang tampuk kekuasan negeri ini. Sholeh Iskandar tak lama
menjadi anggota TNI, kemudian berhenti dengan pangkat terakhir Kolonel Angkatan
Darat dari Kesatuan Siliwangi. Beberapa kali ia diminta Presiden Soekarno ke
Istana Bogor, untuk menjadi pembantunya sebagai menteri Veteran, namun ia
menolak. Tak seberapa lama dari waktu penolakan itu, ia malah ditangkap dan
dijebloskan ke dalam tahanan rezim demokrasi terpimpin selama 4 tahun tanpa
proses hukum.
Besar kemungkinan lantaran aktivitas Kiyai Sholeh
dalam kegiatan politik Islam, sebagai salah satu pengurus partai Masyumi
bersama Muhammad Natsir, KH Noer Alie (Bekasi) dan beberapa ulama lainnya.
Garis politik Masyumi memang berseberangan dengan gagasan Nasakom (Nasionalis,
Agama, Komunis)-nya Soekarno.
Berkiprah di Bidang Sosial dan Pendidikan
Tahun 1967, selepas dari penjara, KH Sholeh Iskandar
lebih banyak berdakwah di bidang sosial dan pendidikan. Ia pun ‘naik gunung’ ke
Darul Fallah, pesantren yang ia dirikan tahun 1960. Namun, saat ini kondisinya
sungguh berbeda dengan pertama kali ia dirikan. Selama ia mendekam di penjara,
kondisi pesantren tak terurus.
“Tahun 1967 penguasaan pesantren dikembalikan lagi
kepada Yayasan atas jasa Letnan Jenderal Alamsyah Ratuperwiranegara, yang waktu
itu sebagai Sekretaris Negara dengan ganti rugi ala kadarnya. Perkampungan
Pesantren Pertanian Darul Fallah selama Sholeh Iskandar ditahan digunakan oleh
pemerintah untuk menampung pasukan dari Irian Barat (sekarang Papua_red) yang
akan dikirim ke Malaysia semasa konfrontasi.” tutur Ustadz Emri Farizi.
Setelah itu, Emri melanjutkan, Yayasan Pesantren
Pertanian Darul Fallah dipimpin lagi oleh Sholeh Iskandar, sedangkan
Direktorium Pesantren dipimpin oleh Ir.M.Sholeh Widodo dan kolega-koleganya
dari IPB dan UIKA. Mereka turut serta mengelola Pesantren Pertanian Darul
Fallah yang mendidik calon pemimpin berasal dari daerah pedesaan Indonesia.
Tahun 1968, Yayasan Ibn Khaldun (UIKA) dipimpin KH
Sholeh Iskandar. Ia pensiun dari dunia kemiliteran. Hingga tahun 1970-an ia
masih melakukan konsolidasi pada dua Yayasan yang dipimpinnya yaitu; Yayasan
yang memayungi UIKA dan Yayasan Darul Fallah secara formal.
Di samping kedua institusi itu, ia pun aktif
mengasuh dan mengayomi serta melayani umat. Kadang-kadang kepeduliannya
terhadap permasalahan umat yang dilandasi ghirah keislaman yang kuat
berseberangan dengan kebijakan pemerintah. Tahun 1969, misalnya. Atas bantuan
badan dunia (UNICEF), pemerintah mendorong masyarakat melaksanakan Program
Keluarga Berencana (KB) yang dalam prakteknya merupakan pembatasan kelahiran.
KH Sholeh Iskandar ketika itu menyerukan umat untuk
tetap berpendirian bahwa sumber rezeki berasal dari Allah SWT. Agar senegap
kaum muslimin menyerahkan urusan kelahiran, kematian dan rezeki sepenuhnya
kepada kehendak Allah SWT. Justru, menurutnya, yang dianjurkan adalah
meningkatkan etos kerja untuk memperoleh karunia Allah SWT.
Tak berhenti di situ, ia terus begerak, menggagas
pendirian Rumah Sakit Islam Bogor. Selain itu, pada tahun 1972 Badan Kerja Sama
Pondok Pesantren (BKSPP) Jawa Barat pun ia pimpin dalam kesempatan pertemuan
para ulama di Cianjur. Kegiatan BKSPP Jawa Barat cukup banyak dan berhasil
mengatasi persoalan yang dihadapi pondok pesantren di perlabagai pelosok desa,
semisal: Proyek air bersih, pembangunan pondok-pondok yang memadai bagi
kesehatan dan kenyamanan santri dan Kyai, hingga kurikulum yang memasukkan
shirah Nabi dan Sahabat serta sejarah Islam.
“Untuk program pembangunan fisik, dijalin kerja
sama dengan lembaga dari dalam dan luar negeri. Demikian pula dalam perbaikan
gizi dan kesehatan santri-kiyai dibentuk tim kesehatan keliling. Tim Dokter
muslim memeriksa kesehatan kiyai dan ustad pondok pesantren. Khusus untuk
pengajaran bahasa Arab, dosen-dosennya didatangkan dari universitas-universitas
dari Timur Tengah pada saat libur musim panas; selain itu juga membuka
kursus-kursus bahasa Arab di pondok pesantren.Lulusan terbaik dari kursus
tersebut dikirim ke Timur Tengah untuk belajar di Universitas di Saudi Arabia,
India, Pakistan, dan lain-lain,” tambah Emri Farizi.
Di bidang ekonomi, KH Sholeh Iskandar berhasil
mendirikan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) Amanah Ummah. Mulanya karena
keprihatinannya terhadap usaha mikro rakyat yang dililit oleh pinjaman uang
dengan bunga berbunga. Ia berupaya mendorong sistem ekonomi Islam sejak era
80-an.
Hingga menjelang akhir hayatnya, ulama Kharismatik ini masih terus istiqomah berjuang membela kepentingan umat. Tahun 1992, umat Islam berduka. Di usia 70 tahun, sang Khalik memanggilnya pulang. Semoga Allah memberi tempat terbaik untuknya. Amiin.
sumber: Majalah Al-Hikmah