Hi, I'm Azies welcome to my space. This is a documentation of stories and experiences of my life.

06 Mei, 2011

Pengawasan dalam pandangan Islam

PENGAWASAN DALAM PANDANGAN ISLAM
H. Hendri Tanjung, S.Si., MM., M.Ag., M.Phil.

Pengawasan dalam Islam dilakukan untuk meluruskan yang bengkok, mengoreksi yang salah dan membenarkan yang hak. Pengawasan (control) di dalam ajaran Islam (hukum syariah), paling tidak terbagi kepada 2 (dua) hal: Pertama, Kontrol yang berasal dari diri, yang bersumber dari tauhid dan keimanan kepada Allah SWT. Orang yang yakin bahwa Allah pasti mengawasi hamba-Nya, maka orang itu akan bertindak hati-hati. Ketika sendiri, dia yakin Allah yang kedua, dan ketika berdua dia yakin Allah yang ketiga. Allah SWT berfirman: “Tidaklah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi? Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima

melainkan Dia-lah yang keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah yang keenamnya. Dan tiada (pula) pembicaraan antara (jumlah) yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia ada bersama mereka di manapun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitakan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al-Mujadalah [58]: 7).
Ini adalah control yang paling efektif, yang berasal dari dalam diri. Ada sebuah hadits yang menyatakan: “Bertakwalah Anda kepada Allah, dimanapun Anda berada.” (HR. Thabrani dari Abu Darda’).

Taqwa itu tidak mengenal tempat. Taqwa itu bukan sekedar di masjid, bukan sekedar di atas sajadah, tetapi yang namanya taqwa itu adalah juga ketika beraktivitas, ketika di kantor, ketika di meja perundingan dan ketika melakukan berbagai macam perbuatan. Taqwa semacam inilah yang Tawa shoubil marhamah (saling menasehati atas dasar kasih sayang). Hal ini ditetapkan dalam Al-Qur’an pada surat Al-Balad ayat 17 yang artinya adalah saling berwasiat atas dasar kasih sayang. Tujuan melakukan pengawasan, pengendalian dan koreksi adalah untuk mencegah seseorang jatuh terjerumus kepada sesuatu yang salah. Tujuan lainnya adalah agar kualitas kehidupan terus meningkat. Inilah yang dimaksud dengan tausiyah, dan bukan untuk menjatuhkan. Ternyata metode bil marhamah ini sangat dashyat pengaruhnya. Kita lihat firman Allah dalam surat Fushilat (41) ayat 34-35.

Dalam ayat tersebut Allah menegaskan, bahwa tidaklah sama antara kebaikan dan keburukan. Kebaikan akan abadi, sedang keburukan akan hancur. Kebaikan akan bernilai, akan diterima oleh fitrah manusia, sedang keburukan akan ditolak, sekalipun keburukan itu dominan. Bagaimanapun, pada akhirnya keburukan akan dapat dihancurkan oleh kebaikan.

Tetapi dalam menghadapi keburukan, ayat ini menegaskan: “Idfa’ billatî hiya ahsan”, tolaklah keburukan itu dengan cara yang lebih baik. Mengapa demikian? Sebab, jika kita sudah mampu menolak keburukan dengan kebaikan, misalnya menolak (membalas) orang kikir dengan memberi kepadanya, membalas orang yang membenci dengan mendatanginya, atau membalas orang yang memutuskan hubungan dengan bersilahturahmi kepadanya, maka pengaruhnya sungguh luar biasa. Sehingga, “fa idzal-ladzî bainaka wa bainahu’adâwatun ka annahû waliyyun hamîm”, maka tiba-tiba orang yang semula menunjukkan permusuhan dan kebencian terhadap kita, seolah-olah telah berubah menjadi teman yang sangat dekat. Jadi, sikap-sikap yang menampilkan marhamah ini ternyata punya dampak yang sangat besar.

Kita tidak akan bisa melakukan yang demikian ini (menolak kejahatan dengan kebaikan), kecuali jika kita memiliki kesabaran. Kesabaran tidak bisa tercapai juga, kecuali kita mendapatkan anugerah dari Allah SWT. Artinya, kita tidak bisa melakukan itu semua jika kita tidak punya silah qawiyyah (hubungan batin yang kuat) dengan Allah SWT.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab.

adds